Monday, January 28, 2008

Membangun Optimisme Masa Depan Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Kemajuan suatu daerah tak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin daerah tersebut. Daerah yang kaya, tanpa memiliki pemimpin yang pandai dalam mengelola potensi kekayaan tersebut, bisa-bisa menjadi daerah miskin dengan segala himpitan permasalahan yang diakibatkan oleh kurangnya kepiawaian pemimpin daerah tersebut . Daerah yang miskin, apabila dipimpin oleh yang pandai dan cakap dalam membangun daerah, sebaliknya malah bisa berpeluang menjadi daerah yang maju.

Mengatur dan memimpin suatu daerah, memang bukan perkara yang mudah. Apalagi, ditengah kondisi multidimensi krisis yang melanda di seluruh sendi kehidupan bangsa saat ini. Instabilitas perpolitikan baik nasional maupun lokal misalnya, kerap menjadi persoalan berat dalam usaha memajukan daerah. Belum lagi, adanya regulasi kebijakan yang kerap disinterpretasi, intervensi pusat ke daerah, dan berbagai persoalan lain baik yang datang dari luar maupun dalam daerah, membuat hampir semua catatan sejarah kepemimpinan yang dialami bangsa ini memiliki banyak kekurangan.

Kenyataan juga menunjukkan, dalam panggung politik sejarah modern Indonesia, tampaknya belum ada kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berpikir demokrasi dalam waktu yang berkesinambungan. Sebab, selalu saja pemimpin di Indonesia berstandar pada pragmatisme kekuasaan ketimbang kedaulatan rakyat itu sendiri.

Kompleksnya masalah itu, mau tidak mau memaksa sistem pergantian pemimpin di negeri ini kerap berganti-ganti. Setelah rezim otoritarian yang menerapkan pola sentralistik selama 32 tahun tumbang, demokrasi saat ini masih jalan tertatih-tatih. Sistem Pemilihan langsung yang dimulai 2004 lalu, walaupun belakangan disebut sebagai pemilihan paling demokratis bangsa ini, sekarang malah dihadang oleh adanya wacana penunjukan langsung pada level kepala daerah. Terlepas dari positif negatifnya, dinamika demokrasi tersebut semakin menegaskan vitalnya persoalan kepemimpinan.

Belajar Dari Masa Lalu

Provinsi Riau, sejak dibentuk pada tahun 1957 hingga sekarang, masih mencari sosok pemimpin yang minimal mendekati ideal dan menjadi harapan masyarakatnya. Ini karena selama 50 tahun usia provinsi ini, walaupun terdapat banyak kemajuan yang telah dicapai, masih selalu didera oleh berbagai permasalahan.

Satu sisi, tak dapat dipungkiri, masa kepemimpinan yang dijalani oleh tiap-tiap Gubernur memiliki kondisi yang berbeda-beda. Saat Mr. S.M. Amin menjabat sebagai Gubernur pertama KDH Provinsi Riau yang dilantik 5 Maret 1958 di Tanjungpinang, Riau berada ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.

Begitu juga pada masa Letkol Kaharuddin Nasution menggantikan Mr SM Amin sebagai Gubernur, juga masih menghadapi kondisi yang tidak stabil. Bergantinya pemimpin menyebabkan struktur Pemerintahan Daerah saat itu dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Apalagi, disaat yang sama proses administrativ pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan.

Habis masa jabatan Kaharuddin Nasution, Mendagri selanjutnya menunjuk H Arifin Ahmad pada tahun 1966 sampai 1978. Periode Arifin Ahmad ini beberapa kemajuan telah nampak. Meskipun pembangunan tersebut belum menyentuh langsung kepada masyarakat kecil. Hal ini tetap berlanjut pada beberapa masa kepemimpinan dipegang oleh HR Subrantas , H Prapto Prayitno, Imam Munandar, H Baharuddin Yusuf, Atar Sibero, dan H Soeripto. Adanya intervensi pemerintah pusat pada masa-masa tersebut, membuat pola kepemimpinan berlangsung kaku tanpa adanya perubahan mendasar.

Barulah pada saat bergolaknya era reformasi pada medio 1998, membuka peluang Gubernur Riau berasal dari Putra Riau sendiri. Karena sepanjang keberadaan Provinsi Riau, belum pernah ada putra daerah yang menjadi Gubernur. Sejarah itu dicatat oleh H Saleh Djasit yang menjabat Gubri dari periode 1998-2003. Banyak juga perubahan pembangunan yang terjadi saat Saleh memimpin pemerintahan saat itu. Namun, ditengah-tengah konsentrasi pembangunan lagi fokus-fokusnya dilakukan, sayang, Saleh harus mundur di akhir periode pertama kepemimpinannya, karena kekalahan politiknya pada suksesi 2003. Ia kemudian digantikan oleh HM Rusli Zainal SE MP, yang menjabat hingga 2008 mendatang.

Kepemimpinan Era Rusli Zainal, cukup membawa kemajuan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang. Ini sebenarnya tak lepas dari dampak perubahan pola pembangunan yang beralih dari sentralistik ke otonomi daerah yang digulirkan dua tahun sebelum kepemimpinan Rusli. Namun sayangnya, kesempatan emas bagi daerah untuk berapresiasi dalam membangun negerinya tersebut, belum diimplementasi secara baik oleh daerah, juga di Riau. Yang muncul belakangan malah adanya istilah “raja-raja kecil”, korupsi menjadi-jadi, rakyat semakin miskin, kesejahteraan rakyat semakin tak terjamin.

Nah, dari sederet catatan kepemimpinan yang telah dipapar diatas, menunjukkan bahwa se-ideal mungkin sosok pemimpin, tak akan lepas dari berbagai tantangan berat dan kekurangan disana-sini. Hanya saja, yang menjadi catatan, kita perlu belajar untuk menentukan pilihan pemimpin yang terbaik bagi negeri ini, dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dijalankan.

Memahami Kondisi Riau Sebagai Modal Memilih Pemimpin

Sebelum membicarakan masalah kepemimpinan Riau kedepan, perlu kiranya disinggung kembali tentang kondisi riil yang dialami Riau saat ini. Hal ini penting guna menjadi acuan dalam proses menentukan siapa dan bagaimana sosok pemimpin yang dibutuhkan daerah ini.

Dalam perjalanan 50 tahun provinsi Riau, tak dapat dipungkiri banyak catatan menggembirakan yang telah dicapai. Pertumbuhan ekonomi Riau (tanpa migas, 2006 sampai Maret 2007) berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2007 mencapai 8,66 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, 6,09 persen. Pertumbuhan itu mendorong turunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,53 persen dari sebelumnya 11,10 persen. Pertumbuhan perekonomian Riau itu tidak hanya tertinggi untuk tingkat nasional, tapi juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan Singapura. Pada tahun yang sama pertumbuhan perekonomian negara tetangga itu hanya sekitar 7 persen.

Dalam tahun 2006, Riau menduduki peringkat ketiga dalam Penanaman Modal Dalam Negeri dan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) urutan kedua. Bahkan sebelumnya di tahun 2005 Riau menempati peringkat pertama, dan dalam 2006 ini secara keseluruhan peningkatan lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu.
Dalam hal tenaga kerja, secara umum Riau juga mengalami pengurangan yang signifikan dalam hal pengangguran. Hal ini juga terkait dengan tingginya investasi dan usaha yang ada di Riau dengan implikasi akan mudahnya lapangan kerja di daerah ini.
Dalam hal kependudukan, Riau saat ini memiliki penduduk sebanyak 4 juta jiwa, lebih sedikit dari Singapura yang mencapai 4,5 juta jiwa. Namun dari segi pertumbuhan penduduk, Riau juga lebih besar yakni 3,4 persen dibanding Singapura yang hanya 1,2 persen.

Dibalik pesatnya pertumbuhan selalu ada ironi. Banyak persoalan harus dibenahi. Sebut saja soal kemiskinan. Ditengah melimpahnya APBD yang dicapai khususnya di tahun 2007 ini, Riau masih mengoleksi kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di beberapa penjuru kabupaten yang ada. Tiga kabupaten (Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir) saat ini masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Tahun 2005, jumlah rakyat miskin mencapai 600.400 jiwa dan tahun 2006 hingga Maret 2007 masih 574.500 jiwa. (11,20 persen).

Kesenjangan sosial masyarakat tetap dominant terlihat. Ini terbukti dari persentase penduduk miskin di Riau sebagian besar berada di daerah perdesaan (12,90 persen), sedang di perkotaan ada sebesar 9,53 persen. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau baru-baru ini bahkan menegaskan, di Riau terdapat 663 desa yang masih pada kategori rawan pangan.

Dari 4,5 juta rakyat Riau, 54 persen di antaranya (usia di atas 10 tahun) hanya berpendidikan SD dan sebagian lagi tidak tamat SD. Riau juga masih memiliki beberapa suku terasing yang benar-benar teralienasi dari proses pembangunan. Sebut saja suku Sakai yang hidup di tengah kekayaan ladang minyak Duri, yang dikelola PT Caltex (sekarang PT Chevron). Juga suku Talang Mamak di kawasan Sungai Enok, Indragiri Hulu.

Tidak dipungkiri, sektor perkebunan dan kehutanan merupakan tulang punggung Riau membangun perekonomiannya. Namun, dampak negatif pemberian izin perkebunan atau hutan tanaman industri membuat daftar masalah makin panjang. Dari data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, setidaknya ada 320 titik konflik antara masyarakat dan perusahaan kayu atau perkebunan di Riau. Laju kerusakan hutan di Riau, menurut LSM pemerhati kehutanan, mencapai 160.000 ha per tahun. Buruknya kondisi hutan itu belum terjawab. Beberapa kepala daerah justru berancang- ancang mengubah lahan kosong di atas hutan lindung untuk perkebunan atau HTI demi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Fakta-fakta lain masih banyak lagi jika hendak disebutkan satu persatu. Namun, bukan sekedar data yang dibutuhkan saat ini, melainkan bagaimana fakta konkrit tersebut menjadi pemecut seluruh komponen masyarakat daerah ini untuk merasa bertanggung jawab dalam menentukan masa depan Riau yang lebih cemerlang di masa mendatang. Terutama lagi, ketika kita dihadapkan pada proses pergantian pemimpin yang akan digelar pada 2008. Setidaknya, kondisi Riau terkini itu bisa menjadi modal bersama untuk menentukan pemimpin yang benar-benar memahami persoalan sekaligus mencari jalan keluar terhadap persoalan tersebut.

Membangun Optimisme Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Ditengah persoalan yang masih mendera Riau sampai sekarang, muncul harapan besar ketika 2008 mendatang suksesi pemimpin daerah ini akan dipilih langsung oleh rakyat. Sistem pemilihan itu bagi Riau merupakan yang pertama kali akan dilakukan, dan sejarah kepemimpinan di Riau kelak akan mencatatnya, entah dengan tinta emas atau tinta hitam.

Yang pasti, kita semua berharap melalui Pilkada langsung itu, Riau nantinya dapat berubah lebih baik dibandingkan kondisi yang terjadi saat ini. Tidak mudah memang, karena untuk mendapatkan seorang pemimpin yang mampu membawa Riau ke arah sana, akan melewati banyak halangan.

Perlu digaris bawahi bahwa proses Pilkada yang diharapkan mampu berjalan dengan baik saat ini masih dihantui oleh banyaknya kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang akan terjadi, baik sebelum, saat, maupun setelah pemilihan dilangsungkan. Ketakutan ini cukup beralasan, mengingat banyak pihak masih menyangsikan kedewasaan berpolitik dari elit-elit politik maupun kelembagaan politik akhir-akhir ini.

Selain itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adakah calon-calon pemimpin yang bertarung pada Pilkada mendatang, memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab) yang teruji dihadapan masyarakat.

Kendati demikian, untuk sebuah masyarakat yang menginginkan perubahan fundamental kedepan, ketakutan-ketakutan diatas harus segera ditepis. Caranya, mari kita bangun optimisme di setiap diri kita, untuk menatap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilgubri 2008 mendatang akan lebih baik dari sekarang. Kita haru mampu berupaya membangun wacana “Demokratisasi” untuk bisa memberikan pendidikan politik (civil education ) kepada masyarakat, agar mereka bisa menentukan pilihan sesuai hati nuraninya masing-masing dalam memilih calon pemimpinnya.

Jika memang kecurangan-kecurangan politik tak dapat dihindari saat Pilgubri nanti, mulai dari sekarang perlu disosialisasikan usaha-usaha untuk menciptakan Pilgubri damai. Salah satunya mungkin bisa dilakukan dengan cara menyepakati kontrak politik dengan calon Kepala daerah, agar bisa mengendalikan dan mengkondisikan simpatisan dan konstituennya, selama proses Pilkada berlangsung.

Sedangkan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab), bisa dilakukan dengan cara mengajak para calon untuk menyusun program kerja kepemimpinannya, sehingga masyarakat bisa mengetahui kemampuan masing-masing calon untuk merumuskan program yang diusung.

Akhirnya, kita semua berharap dengan bekal optimisme terhadap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilkada 2008 mendatang, merupakan potensi besar menuju perubahan fundamental Riau kedepan. Semoga!! (Tulisan ini diikutkan pada lomba karya Tulis Piala Raja Muhammad Yunus, Yang diselenggarakan oleh Persatua Insan Pers Riau Desember 2007. Alhamdulillah, mendapat Juara 2 )




Share:

0 comments: