Monday, December 6, 2010

KPID Riau dan Problem Penyiaran Lokal

Usai dilantik pertengahan bulan Oktober 2010 lalu, ada perasaan lega yang menyelimuti pada diri pribadi penulis terhadap legitimasi keberadaaan pengurus Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau.

Pertama, dalam kapasitas penulis sebagai masyarakat awam penikmat program televisi, legitimasi kepengurusan KPID Riau berarti masyarakat Riau memiliki akses resmi di tingkat lokal, untuk melaporkan berbagai siaran radio/televisi lokal maupun nasional yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Selanjutnya, sebagai masyarakat yang memiliki hak berpendapat, bolehlah kiranya KPID menampung berbagai usulan dan masukan konstruktif dari masyarakat tentang perbaikan sistem dan profesionalisme radio/televisi, khususnya radio/tv lokal di Riau saat ini. Dari kelegaan ini, penulis ingin memaparkan lebih jauh masing-masing persoalan meskipun tidak dalam konteks yang mendalam. Dengan harapan, paling tidak dari sini, memunculkan proyeksi bagi kepengurusan KPID Riau dalam menentukan arah dan beban kerja beberapa tahun kedepan.

Terkait kelegaan penulis akan legitimasinya KPID sebagai lembaga resmi bagi masyarakat dalam memberikan aduan terkait pelanggaran P3SPS, sebenarnya merupakan luapan kegembiraan bahwa radio dan televisi-televisi lokal yang selama ini hanya diawasi oleh lembaga teknis perizinan dan frekuensi, kini juga bakal berhadapan langsung dengan lembaga yang mengurusi soal konten siaran, baik itu kualitas dan etika materi siaran. Dengan adanya KPID di provinsi, peran monitoring radio/tv lokal yang selama ini bisa jadi hampir tidak tersentuh KPI pusat, mulai saat ini bisa dijalankan.

Menggiring Arah Siaran Tv
Kita semua tahu, televisi memberi pengaruh yang besar dalam proses pembentukan opini, bahkan karakter masyarakat melalui tayangan-tayangannya. Benjamin Olken, ekonom dari MIT, beberapa tahun lalu pernah meneliti pengaruh televisi di kalangan rumah tangga Indonesia. Olken mensurvei lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima banyak saluran televisi. Hasilnya cukup menarik. Setiap bertambah satu channel televisi yang bisa dilihat, maka rata-rata mereka menonton televisi lebih tujuh menit lebih lama.

Ketika survei ini dilakukan, hanya ada tujuh stasiun tv nasional. Kalau survei tersebut dilakukan saat ini, bisa jadi waktunya akan bertambah besar. Temuan lain yang tak kalah menarik adalah di pedesaan dengan penerimaan sinyal televisi yang lebih bagus menunjukkan adanya tingkat partisipasi kegiatan sosial yang lebih rendah.

Artinya, orang lebih suka menonton televisi daripada terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Lebih dari itu, di pedesaan tersebut juga terlihat adanya tingkat ketidakpercayaan yang lebih tinggi di antara penduduk yang berakibat pada lesunya kerja sama perekonomian dan perdagangan. Bahkan, Olken yang termasuk sangat jarang menonton televisi, merasa heran ketika melihat kecanduan orang Indonesia terhadap kotak hitam tersebut.

Olken mengungkapkan, “I have been in many, many households in Indonesia that have a dirt floor, but they also have a television.” Terlepas dari penelitian tersebut, harus disadari memang masyarakat kita sudah terjangkit sindrom ketergantungan akut akan yang namanya televisi. Janganlah ditanya apa penyebab dari semua ini. Yang patut digiring, ialah ke arah mana televisi-televisi kita membawa hanyut para penikmatnya. Ke arah pencerdasankah? Atau pembodohankah?

Jika dilihat, di tengah perang bisnis media setakat ini, kemampuan untuk bertahan merupakan harga mati. Apalagi, era kebebasan pers pasca reformasi, ditambah lagi dengan adanya UU No 40/1999 tentang Pers, begitu menjanjikan masa depan yang cerah bagi dunia media di Indonesia.

Alhasil, jumlah media, terutama media televisi kian banyak. Jumlah tersebut mengakibatkan tidak terciptanya keragaman program di bidang penyiaran tv, karena tv swasta yang jumlahnya besar menganggap publik sebagai konsumen, bukan sebagai warga bangsa (citizen).

Apabila kita menyimak tv lokal di Riau, ada kecenderungan tren tv berbayar. Tv hanya memuaskan pelanggan-pelanggannya yang memasang iklan, mensponsori program, bahkan mendanai operasionalnya. Pemirsa di sini bukan masyarakat banyak, melainkan mitra bisnis dan rekanan yang membayar. Amat disayangkan memang. Namun itulah realitas. Masyarakat benar-benar ditempatkan sebagai konsumen dalam arti sebenarnya. Di sisi lain, stasiun televisi tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka perlu income, agar tetap on-air. Hanya saja paradoksnya, masyarakat butuh pencerahan, melalui tontonan-tontonan yang syarat akan pesan dan pendidikan.

Hadirnya KPID Riau di tengah kondisi ini ibarat mata air di tengah padang pasir. Ia dituntut untuk mampu menengahi, bukan memihaki. KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen dan berwenang mengatur hal-hal mengenai penyiaran tidak hanya diharapkan dapat mengawasi pelaksanaan P3SPS di daerah, namun juga menstimulasi kesadaran pelaku penyiaran untuk lebih berpihak kepada kebutuhan masyarakat.

Televisi Berjaringan
Momen hadirnya KPID Riau salah satunya juga diharapkan bisa memperjuangkan realisasi penerapan sistem televisi berjaringan di Indonesia.

Sistem yang seharusnya sudah harus dijalankan sejak Desember 2007 lalu ini, terkatung-katung hanya karena hegemoni power tv swasta nasional yang belum siap untuk berbagi dengan daerah. Menurut Wikipedia, sistem televisi berjaringan di Indonesia adalah sistem televisi berjaringan yang mengharuskan televisi-televisi yang memiliki daya frekuensi siaran nasional seperti SCTV, RCTI, MNCTv, Indosiar, AnTv, Metro TV, Trans TV, TvOne, Trans7, dan Global TV, agar melepaskan frekuensi terhadap daerah- daerah siaran mereka dan menyerahkan pada orang/lembaga/organisasi daerah yang ingin menggunakannya untuk dikembangkan.

Dalam tv berjaringan, semangat dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek diversity of ownership, diversity of content, dan kearifan lokal (berkembangnya industri siaran lokal dan terlindunginya sosial-budaya ma-syarakat lokal). Dari sisi lain, televisi berjaringan ibarat otonomi daerah, yang mengubah pola sentralisasi menjadi desentralisasi. Apa yang di desentralisasi? Jawabnya, profit. Karena fakta menyebutkan, terjadi kesenjangan yang amat jauh dari sisi profit antara tv nasional dan lokal. Contoh pada tahun 2008 saja, transaksi iklan televisi nasional sudah di atas Rp3 triliun. Sementara televisi lokal hanya Rp100 miliar.

Desentralisasi profit ini juga dimaksudkan guna mendukung program pemberdayaan ekonomi daerah, dimana dengan hadirnya lembaga/unit jaringan tv nasional di daerah, diharapkan menyerap tenaga-tenaga kerja lokal, dan membawa multiplier effect positif bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Desakan untuk merealisasikan sistem ini juga didorong oleh semangat yang tersirat dalam pasal 5 UU No 32/2002 tentang Penyiaran, di mana disebutkan penyiaran diarahkan untuk mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di bidang penyiaran.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) baik di pusat maupun daerah, sebagai lembaga negara yang mengawal UU Penyiaran, harus terus berupaya mendesak pemerintah dan lembaga penyiaran swasta tidak lagi menunda sistem stasiun berjaringan.

Sebab jika terus-menerus ditunda, akan menyebabkan produk undang-undang itu tidak berfungsi dan demokratisasi di bidang penyiaran menjadi terhambat. Selamat bekerja KPID Riau.***

Dodita, Praktisi media dan peminat masalah sosial kemasyarakatan.

dapat dibaca juga di http://riaupos.com/news/2010/11/18/kpid-riau-dan-problem-penyiaran-lokal-oleh-dodita/
Share: