Sunday, March 30, 2008

"Salah Kubur"


Orang dikubur itu biasa. Tapi bagaimana kalau kayu dikubur? Lha, ini baru luar biasa. Kan kayu hidupnya biasa diluar, hanya akarnya yang didalam. Di Desa Gunung Sahilan Kabupaten Kampar, ditemukan ribuan tual kayu yang disembunyikan oknum pelaku Ilegall Logging dengan cara dikubur. Maksudnya mengubur, untuk menghilangkan jejak perbuatan sipelaku.
Nah, luar biasa bukan? Kayu yang biasanya hidup diluar, tapi malah dikubur di dalam tanah. Sementara akarnya (baca; oknum pelaku) malah enak-enakan diluar. Pasti ini salah kubur !
Mengapa? Ya, karena yang sepantasnya di kubur adalah pelakunya. Ia telah dengan sengaja menyembunyikan kayu ilegal yang sudah pasti asal-usul kayu tak jelas izin tebangnya, HPH-nya, dan ketidakjelasan lainnya. Tindakan itu jelas merugikan banyak pihak.
Terang saja. Di Desa Gunung Sahilan di waktu yang sama (Maret 2008) menjadi lokasi banjir terparah di Riau. Ribuan KK jadi kesusahan karena susah beraktivitas, termasuk mencari nafkah. Tidak hanya di desa itu saja, bahkan tercatat akibat banjir yang terjadi sepanjang Maret 2008 itu 48 Desa di Lima Kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar, juga bernasib sama. Karet yang menjadi sumber penghasilan mereka, tak bisa di takik. Sekolah diliburkan. Sumber air bersih susah dicari. Beberapa warga terserang penyakit.
Menurut temuan aparat, kuburan kayu ditemukan di tiga titik. Titik pertama dan kedua terdapat di Air Panas Desa Gunung Sahilan. Sementara satu titik lagi berada di perbatasan Kuansing dan Kampar. Namun kuburan jadi-jadian itu dominan berada di Kuansing.
Masyarakat Kuansing pun tak luput dari bencana banjir ketika itu. Sebanyak 3674 KK di 57 Desa dan Sembilan Kecamatan, rumahnya tergenang air.
Penguburan kayu sudah pasti salah satu dari banyak motif kejahatan perambahan hutan secara liar (Ilegal Logging). Ada berbagai motif lain yang mungkin saja belum terendus oleh aparat.
Atas penemuan ini satu sisi kita boleh bangga karena kinerja aparat kepolisian dan pemerintah berhasil mengungkap satu persatu motif kejahatan Ilegal Loging di Riau. Ditemukannya motif penguburan kayu setidaknya membuktikan sudah semakin takutnya pelaku ilegal logging dalam melancarkan aksinya sehingga memaksa mereka untuk bertindak serapi mungkin menghilangkan jejak aksinya. Beda dengan sebelum gencar-gencarnya dilakukan sweeping oleh aparat ke hutan-hutan. Pelaku Ilegall Logging saat itu masih leluasa beraksi, seperti adanya modus kayu gelondongan yang diapungkan di atas air.
Sementara di sisi lain, masyarakat Riau harus waspada akan datangnya fenomena-fenomena alam yang tak diinginkan, sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tidak seimbangnya lagi alam hutan di Riau.
Kampar dan Kuansing adalah bagian kecil dari kasus Ilegall Logging yang tak pernah henti di negeri kaya minyak ini. Sampai kapan kasus ini terjadi, Wallaahu'alam.

(Ahad 31 Maret 2008)
Share:

Thursday, March 6, 2008

Optimalisasi Peran Tokoh Agama Strategi Menuju Riau Bermadani (Perspektif Pencapaian Pembangunan di Riau)



Sejak zaman kenabian hingga dimulai era baru peradaban, agama telah terbukti membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia, yang dimanifestasikan salah satunya oleh perjuangan dari para tokoh dan pemimpin agama. Diantara tokoh itu, salah satunya adalah Imam Khameini. Sebelum dan sesudah berhasil menumbangkan rezim Shah Iran di tahun 1979, beliau adalah seorang tokoh agama (ulama), mujtahid (pembaharu pemikiran), seorang yang patut diikuti, sekaligus seorang politisi yang dikagumi dan dihormati masyarakat Iran. Di berbagai pidato politiknya, Imam Khameini dengan tegas meminta agar Shah Iran mengundurkan diri dari jabatannya. Saat Shah Iran membuat kebijakan land-reform di tahun 1963, dengan tegas Imam Khameini melakukan gerakan perlawanan, meski akhirnya ia harus meninggalkan Iran menuju Turki (1964), Irak (1964-1978), dan Prancis sejak tahun 1978. Di ketiga negara itu, Imam Khameini meneruskan perjuangannya melawan rezim Shah Iran.
Begitu juga yang dilakukan teolog besar Gustavo Gutierrez dari Peru, atau uskup agung Oscar A Romero dari El Savador. Mereka adalah para tokoh agama yang juga memiliki andil melawan penindasan terstruktur di wilayahnya. Para tokoh agama itu semua memiliki kesadaran dan semangat keagamaan untuk melakukan perubahan, melawan struktur dan kultur yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia, tapi merugikan dan menindas mayoritas.
Kesadaran dan semangat keagamaan ini pula yang mendasari pilihan seorang pastor dari Bolivia, Camilo Torres untuk bergabung dengan Ernesto Che Guevarra bergerilya melawan pemerintahan komprador, meski akhirnya ia harus tewas dalam sebuah pertempuran gerilya yang tidak seimbang. Bagi kelompok gereja, tindakan Torres tidak mendapat restu, tapi bagi kalangan tertindas dan anak muda di Amerika Latin, tindakan Torres patut ditiru.
Dari beberapa tokoh ini, memberikan gambaran bagi dunia bahwa nilai-nilai luhur yang termaktub dalam ajaran agama, memberikan jalan bagi gerakan perubahan dari nilai-nilai penyimpangan kepada nilai-nilai kebenaran. Gerakan ini tidak akan tercetus jika tidak diilhami oleh tokoh-tokoh agama, disamping dukungan kalangan pencetus perubahan lainnya.
Peran Penting Tokoh Agama Dalam Berbagai Persoalan Bangsa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dimana warga negaranya memeluk agama-agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Masyarakat majemuk yang dimiliki ini adalah masyarakat yang berdasarkan Pancasila dimana Negara menjamin kebebasan beragama. Dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila, diutamakan juga masalah kerukunan hidup antar umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa dalam negara Pancasila, agama mempunyai tanggung jawab atas kelangsungan bangsa (spiritual, moral, etika) dan negara mempunyai tanggung jawab keagamaan, yaitu menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tidak boleh memasuki wilayah yang memang menjadi bagian (otonomi, otoritas) agama-agama.
Untuk itu dalam mengembangkan kehidupan beragama, sebagai anak-anak bangsa yang ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bersatu untuk menciptakan negara yang penuh dengan damai sejahtera, peranan pimpinan agama-agama sangat dibutuhkan dan mereka mampu menganalisa dan memberikan informasi yang tepat dan obyektif sehubungan dengan perkembangan zamannya.
Tokoh Agama, Sosok Kepemimpinan Informal
Tokoh agama merupakan satu sosok kepemimpinan informal yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Kehadirannya dalam ranah kehidupan masyarakat, tak hanya menjadi pelengkap perangkat social semata, namun juga berperan penting dalam mengatasi problem yang dialami masyarakatnya.
Dalam era reformasi sekarang ini, kecendrungan adanya gejolak social semakin sering muncul ke permukaan. Kita semua prihatin terhadap gejala ini, dan semua ini harus segera dicarikan solusinya agar gejala ini tidak berdampak lebih luas. Disinilah peran tokoh agama sangat diharapkan, guna menetralisir dan mengambil jalan tengah untuk setiap masalah social yang ada. Mengapa tokoh agama? Jawabnya adalah karena para tokoh agama, baik pikiran, ucapan, dan tindakannya merupakan panutan bagi agamanya.
Berangkat dari bahwa tokoh agama merupakan panutan bagi umatnya maka untuk optimalisasi peran tokoh agama dalam mengatasi kondisi dan masalah saat ini, sangat diperlukan perhatian pemerintah terhadap para tokoh agama, bagaimana ia mampu menyeimbangkan antara wawasan keagamaan dengan wawasan kebangsaan dalam memimpin umatnya. Selain itu, ia juga dapat membangun hubungan dengan tokoh formal (eksekutif, legislative) dan tokoh masyarakat, sehingga dapat mendorong ke arah keselamatan hidup bersama, tanpa diskriminatif di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Menyoal Pembangunan di Riau
Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama islam, tentu resiko adanya konflik agama sangatlah kecil. Namun hal ini bukan berarti kita harus melupakan peran agama dan keberadaannya ditengahtengah pembangunan yang dijalankan saat ini,. Justru agama semaki krusial perannya, ketika konsentrasi pembangunan yang dilakukan hanya dirasakan tertuju pada pembangunan fisik semata.
Apalagi saat ini Provinsi Riau sedang dalam masa mengejar target pembangunan yang harus dicapai sebelum 2020 mendatang. Target yang diinginkan yaitu menjadi pusat kebudayaan, ekonomi, dan perdagangan se Asia Tenggara. Sebuah cita-cita yang mulia. Namun cita-cita itu tidak akan tercapai tanpa ditopang oleh kondisi masyarakat yang agamis.
Sampai saat ini, kita memang sadari pertumbuhan pembangunan dan perbaikan perekonomian telah banyak dicapai. Tingkat pertumbuhan ekonomi sejak 2005 hingga pertengahan 2006 ini mampu melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu 5,4 %. Ini berkat dukungan atas bergairahnya berbagai sector riil yang menunjang kehidupan masyarakat. Sebut saja dibidang perdagangan, industri, perkebunan, perikanan, pertanian, dan juga sector pariwisata dan budaya, kesemuanya telah menasbihkan propinsi ini termasuk kedalam salah satu propinsi terkaya dan ber-PAD terbesa setelah propinsi Kalimantan Timur dan Papua. Tidak ada yang kurang sebenarnya. Ungkapan yang menyebut Riau sebagai miniaturnya Indonesia, adalah ungkapan yang wajar dan tak berlebihan.
Namun dibalik kemajuan itu, kita justru tidak merasakan adanya kemajuan taraf hidup dan kualitas kehidupan masyarakat Riau secara nyata. Potret wajah kemiskinan dan kebodohan semakin tampak jelas kepermukaan melalui berbagai realita yang terjadi saat ini. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (kimpraswil) Riau menyebutkan, hingga tahun 2005 terdapat sedikitnya 29.590 kepala keluarga yang tersebar di Riau belum memiliki rumah tempat tinggal. Meski sudah berkeluarga atau beranak, mereka masih tinggal dirumah orang tua, kakak atau sanak famili lainnya. Bahkan tidak sedikit pula mereka yang menyewa atau mengontrak rumah.
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Propinsi Riau juga pernah menelurkan hasil surveinya. Hingga akhir 2005, menurut badan ini, terdapat sebanyak 22,19 % dari 4,5 juta jiwa penduduk Riau terkategorikan miskin. Dalam sebuah survey yang lain juga menyebutkan, dari sekian banyak penduduk pada kelompok umur produktif yang ada, 60% diantaranya hanya menamatkan pendidikan dasar (SD).
Dampak turunan kemiskinan diatas, sebut saja salah satunya dialami Jumiati, bocah berusia Lima tahun yang setelah dirawat beberapa minggu di RSUD Arifin Ahmad karena derita gizi buruk yang dialaminya. Ia harus menghembuskan nafas terakhirnya beberapa Minggu lalu dirumah sakit itu, tepatnya ditengah-tengah negeri yang katanya kaya ini. Kontras sekali.
Moral masyarakat juga dirasakan semakin terus menurun, dengan semakin banyak terjadinya kasus kejahatan dimana-mana. Tidak saja pelakunya orang dewasa, namun generasi muda pun ikut menjadi actor utama kejahatan dalam berbagai tindak kekerasan. Pelanggaran etika, norma, dan berbagai aturan kehidupan sudah bukan hal baru lagi, terus menerus terjadi. Di pihak lain, pencegahan hanya dilakukan sebatas pemberian sanksi, tanpa banyak evaluasi dan koreksi diri mengapa semua itu berlaku hari ke hari.
Timbulnya fenomena ini, selain berpangkal dari permasalahan ekonomi, sebenarnya diikuti juga oleh kondisi rendahnya pendidikan formal dan agama pada masyarakat. Ibarat mata rantai, kesemuanya saling terkait satu sama lain, dan memerlukan porsi yang sama dalam pemenuhannya.
Di tengah keprihatinan yang seperti ini, perhatian pemerintah hendaknya tidak lagi mengejar ketertinggalan secara fisik semata. Yang menjadi dasar prioritas pembangunan daerah adalah pembangunan manusianya, terutama dari segi pendidikan formal dan agamanya. Tanpa manusia-manusia terampil, teruji, terdidik, dan terbina secara mental dan spiritual, niscaya pembangunan hanya semu belaka.
Mungkin kita perlu mencontoh apa yang akan dilakukan pemerintah Propinsi Sumatera Barat di tahun 2007 mendatang. Mulai tahun itu, pengamalan ajaran agama, adat dan budaya serta pemberantasan perbuatan maksiat berada pada posisi pertama dari delapan prioritas utama pembangunan disana. Penempatan sebagai nomor satu prioritas utama pembangunan ini karena banyak pihak di Sumbar sepakat bahwa telah terjadi pergeseran yang cukup besar dalam pengamalan ajaran agama, adapt dan budaya serta pemberantasan perbuatan maksiat di tengah masyarakat Sumbar.
Hal ini bisa saja kita terapkan disini, namun tidak harus dalam model yang sama. Lewat pengentasan kemiskinan, kebodohan dan perbaikan infrastruktur (K2I) yang menjadi pokok pencapaian pembangunan yang dicetuskan Gubernur Riau HM Rusli Zainal saat ini, setidaknya hal yang sama dapat diseiringkan dan disejalankan. Satu harapan yang diinginkan, yaitu bagaimana terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera, memiliki kualitas sumberdaya manusia yang bersaing dan berakhlak mulia, serta didukung oleh kemajuan infrastruktur.
Mengoptimalkan Keterlibatan Tokoh Agama
Berpijak kepada realitas kondisi kekinian masyarakat Riau, sebenarnya potensi besar telah kita miliki untuk bersama-sama meraih keberhasilan dalam mengembangkan propinsi ini menjadi propinsi yang maju. Selain ketersediaan potensi sumberdaya alam yang melimpah, propinsi ini juga memiliki dasar budaya yang masih kuat dalam kultur kehidupan masyarakatnya. Hal ini kiranya menjadi modal yang besar dalam membangun masyarakat yang berbudi pekerti, bila saja kultur melayu tersebut mampu dijaga dan dipelihara sebaik mungkin.
Alternatif untuk keluar dari lembah kemerosotan saat ini, adalah dengan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan kepada seluruh masyarakat. Disini, tokoh dan pemimpin agama memiliki otoritas yang sangat besar untuk melakukannya. Seperti yang elah disebutkan diatas, otoritas ini diperolehnya karena apa-apa yang dicerminkan olehnya, baik pikiran, ucapan dan tindakannya merupakan panutan bagi umatnya.
Melalui para pemimpin / tokoh agama, paling tidak kita masih memiliki harapan dan tumpuan, dalam mentransformasikan nilai-nilai agama kedalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, peran ini mampu disejajarkan pula dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama dan budaya yang diharapkan mampu memberikan respon atas kemerosotan nilai-nilai kehidupan secara moral, etika dan spiritual.
Belum sesuainya moralitas dan perilaku social dengan nilai-nilai ajaran agama, budi pekerti luhur, serta norma yang berlaku di masyarakat adalah tantangan utama pembangunan bidang agama. Walaupun secara struktural berkebangsaan hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya, dalam realisasinya dilapangan, tokoh dan pemimpin agama adalah juru kuncinya.
Demikian pula dalam rangka menuntaskan berbagai persoalan pendidikan, kemiskinan, dan infratrukstur saat ini, pemberdayaan para tokoh agama dalam usaha memberi stimulus kepada masyarakat akan pentingnya tiga agenda pembangunan itu juga perlu dilakukan. Tokoh agama merupakan simpul dari berbagai kumpulan masyarakat. Merangkul tokoh agama demi mendukung program pembangunan, berarti merangkul lebih banyak masyarakat untuk terlibat langsung dalam pembangunan.
Setidaknya, ada beberapa garis besar pokok-pokok konsentrasi pemerintah membantu optimalisasi peran tokoh agama dalam membentuk masyaraat madani, antara lain : pertama, memberikan ruang apresiasi bagi tokoh-tokoh agama untuk ikut ambil bagian menentukan kebijakan pembangunan. Bentuk keterlibatan ini dapat juga diberikan secara langsung melalui duduknya tokoh agama dalam berbagai jabatan pemerintahan. Pandangan yang mengatakan bahwa tokoh agama tidak seharusnya terlibat dalam kancah politik, adalah pandangan yang sempit. Justru saat ini perlu di dorong keikutsertaan tokoh-tokoh agama memberi pencerahan kehidupan berpolitik dan berpemerintahan bangsa ini.
Jika tokoh-tokoh agama menyerukan pemberantasan korupsi, misalnya, sementara di semua structural sedemikian korup, bahkan di lingkungan departemen keagamaan juga korup, apakah seruan moral itu bisa berhasil? Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran, meski resikonya ia harus kena pecat dari jabatannya.
Kedua, memberdayakan partisipasi lembaga-lembaga keagamaan, sebagai tempat berhimpunnya tokoh dan pemimpin agama. Lembaga yang ada misalnya MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN, dan sebagainya harus terus di mediasi dalam menciptakan komunikasi dan kerukunan umat beragama.
Yang terpenting, pemerintah tetap menjalankan fungsinya secara proporsional, diutamakan dalam hal memfasilitasi segala kebutuhan pembangunan yang dibutuhkan. Jika memang pembangunan diprioritaskan dari sisi agama, pemerintah mau tak mau harus menunjukkan itikad baiknya ke arah itu, apakah itu dalam bentuk pemenuhan kebutuhan layanan dibidang agama maupun dibidang yang lain. Pemerintah perannya tidak akan masuk kedalam substansi agama, namun lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, dan stimulator. Substansi agama, sepenuhnya akan diserahkan kepada setiap warga negara, dan warga negara akan mengembalikannya lagi kepada para pemimpin agamanya. Semoga, dengan berlandaskan agama dan ditopang oleh peran serta tokoh agama, dapat membentuk masyarakat madani, bagian pencapaian pembangunan di provinsi ini. ***
Share: