Monday, January 28, 2008

Membangun Optimisme Masa Depan Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Kemajuan suatu daerah tak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin daerah tersebut. Daerah yang kaya, tanpa memiliki pemimpin yang pandai dalam mengelola potensi kekayaan tersebut, bisa-bisa menjadi daerah miskin dengan segala himpitan permasalahan yang diakibatkan oleh kurangnya kepiawaian pemimpin daerah tersebut . Daerah yang miskin, apabila dipimpin oleh yang pandai dan cakap dalam membangun daerah, sebaliknya malah bisa berpeluang menjadi daerah yang maju.

Mengatur dan memimpin suatu daerah, memang bukan perkara yang mudah. Apalagi, ditengah kondisi multidimensi krisis yang melanda di seluruh sendi kehidupan bangsa saat ini. Instabilitas perpolitikan baik nasional maupun lokal misalnya, kerap menjadi persoalan berat dalam usaha memajukan daerah. Belum lagi, adanya regulasi kebijakan yang kerap disinterpretasi, intervensi pusat ke daerah, dan berbagai persoalan lain baik yang datang dari luar maupun dalam daerah, membuat hampir semua catatan sejarah kepemimpinan yang dialami bangsa ini memiliki banyak kekurangan.

Kenyataan juga menunjukkan, dalam panggung politik sejarah modern Indonesia, tampaknya belum ada kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berpikir demokrasi dalam waktu yang berkesinambungan. Sebab, selalu saja pemimpin di Indonesia berstandar pada pragmatisme kekuasaan ketimbang kedaulatan rakyat itu sendiri.

Kompleksnya masalah itu, mau tidak mau memaksa sistem pergantian pemimpin di negeri ini kerap berganti-ganti. Setelah rezim otoritarian yang menerapkan pola sentralistik selama 32 tahun tumbang, demokrasi saat ini masih jalan tertatih-tatih. Sistem Pemilihan langsung yang dimulai 2004 lalu, walaupun belakangan disebut sebagai pemilihan paling demokratis bangsa ini, sekarang malah dihadang oleh adanya wacana penunjukan langsung pada level kepala daerah. Terlepas dari positif negatifnya, dinamika demokrasi tersebut semakin menegaskan vitalnya persoalan kepemimpinan.

Belajar Dari Masa Lalu

Provinsi Riau, sejak dibentuk pada tahun 1957 hingga sekarang, masih mencari sosok pemimpin yang minimal mendekati ideal dan menjadi harapan masyarakatnya. Ini karena selama 50 tahun usia provinsi ini, walaupun terdapat banyak kemajuan yang telah dicapai, masih selalu didera oleh berbagai permasalahan.

Satu sisi, tak dapat dipungkiri, masa kepemimpinan yang dijalani oleh tiap-tiap Gubernur memiliki kondisi yang berbeda-beda. Saat Mr. S.M. Amin menjabat sebagai Gubernur pertama KDH Provinsi Riau yang dilantik 5 Maret 1958 di Tanjungpinang, Riau berada ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.

Begitu juga pada masa Letkol Kaharuddin Nasution menggantikan Mr SM Amin sebagai Gubernur, juga masih menghadapi kondisi yang tidak stabil. Bergantinya pemimpin menyebabkan struktur Pemerintahan Daerah saat itu dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Apalagi, disaat yang sama proses administrativ pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan.

Habis masa jabatan Kaharuddin Nasution, Mendagri selanjutnya menunjuk H Arifin Ahmad pada tahun 1966 sampai 1978. Periode Arifin Ahmad ini beberapa kemajuan telah nampak. Meskipun pembangunan tersebut belum menyentuh langsung kepada masyarakat kecil. Hal ini tetap berlanjut pada beberapa masa kepemimpinan dipegang oleh HR Subrantas , H Prapto Prayitno, Imam Munandar, H Baharuddin Yusuf, Atar Sibero, dan H Soeripto. Adanya intervensi pemerintah pusat pada masa-masa tersebut, membuat pola kepemimpinan berlangsung kaku tanpa adanya perubahan mendasar.

Barulah pada saat bergolaknya era reformasi pada medio 1998, membuka peluang Gubernur Riau berasal dari Putra Riau sendiri. Karena sepanjang keberadaan Provinsi Riau, belum pernah ada putra daerah yang menjadi Gubernur. Sejarah itu dicatat oleh H Saleh Djasit yang menjabat Gubri dari periode 1998-2003. Banyak juga perubahan pembangunan yang terjadi saat Saleh memimpin pemerintahan saat itu. Namun, ditengah-tengah konsentrasi pembangunan lagi fokus-fokusnya dilakukan, sayang, Saleh harus mundur di akhir periode pertama kepemimpinannya, karena kekalahan politiknya pada suksesi 2003. Ia kemudian digantikan oleh HM Rusli Zainal SE MP, yang menjabat hingga 2008 mendatang.

Kepemimpinan Era Rusli Zainal, cukup membawa kemajuan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang. Ini sebenarnya tak lepas dari dampak perubahan pola pembangunan yang beralih dari sentralistik ke otonomi daerah yang digulirkan dua tahun sebelum kepemimpinan Rusli. Namun sayangnya, kesempatan emas bagi daerah untuk berapresiasi dalam membangun negerinya tersebut, belum diimplementasi secara baik oleh daerah, juga di Riau. Yang muncul belakangan malah adanya istilah “raja-raja kecil”, korupsi menjadi-jadi, rakyat semakin miskin, kesejahteraan rakyat semakin tak terjamin.

Nah, dari sederet catatan kepemimpinan yang telah dipapar diatas, menunjukkan bahwa se-ideal mungkin sosok pemimpin, tak akan lepas dari berbagai tantangan berat dan kekurangan disana-sini. Hanya saja, yang menjadi catatan, kita perlu belajar untuk menentukan pilihan pemimpin yang terbaik bagi negeri ini, dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dijalankan.

Memahami Kondisi Riau Sebagai Modal Memilih Pemimpin

Sebelum membicarakan masalah kepemimpinan Riau kedepan, perlu kiranya disinggung kembali tentang kondisi riil yang dialami Riau saat ini. Hal ini penting guna menjadi acuan dalam proses menentukan siapa dan bagaimana sosok pemimpin yang dibutuhkan daerah ini.

Dalam perjalanan 50 tahun provinsi Riau, tak dapat dipungkiri banyak catatan menggembirakan yang telah dicapai. Pertumbuhan ekonomi Riau (tanpa migas, 2006 sampai Maret 2007) berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2007 mencapai 8,66 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, 6,09 persen. Pertumbuhan itu mendorong turunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,53 persen dari sebelumnya 11,10 persen. Pertumbuhan perekonomian Riau itu tidak hanya tertinggi untuk tingkat nasional, tapi juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan Singapura. Pada tahun yang sama pertumbuhan perekonomian negara tetangga itu hanya sekitar 7 persen.

Dalam tahun 2006, Riau menduduki peringkat ketiga dalam Penanaman Modal Dalam Negeri dan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) urutan kedua. Bahkan sebelumnya di tahun 2005 Riau menempati peringkat pertama, dan dalam 2006 ini secara keseluruhan peningkatan lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu.
Dalam hal tenaga kerja, secara umum Riau juga mengalami pengurangan yang signifikan dalam hal pengangguran. Hal ini juga terkait dengan tingginya investasi dan usaha yang ada di Riau dengan implikasi akan mudahnya lapangan kerja di daerah ini.
Dalam hal kependudukan, Riau saat ini memiliki penduduk sebanyak 4 juta jiwa, lebih sedikit dari Singapura yang mencapai 4,5 juta jiwa. Namun dari segi pertumbuhan penduduk, Riau juga lebih besar yakni 3,4 persen dibanding Singapura yang hanya 1,2 persen.

Dibalik pesatnya pertumbuhan selalu ada ironi. Banyak persoalan harus dibenahi. Sebut saja soal kemiskinan. Ditengah melimpahnya APBD yang dicapai khususnya di tahun 2007 ini, Riau masih mengoleksi kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di beberapa penjuru kabupaten yang ada. Tiga kabupaten (Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir) saat ini masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Tahun 2005, jumlah rakyat miskin mencapai 600.400 jiwa dan tahun 2006 hingga Maret 2007 masih 574.500 jiwa. (11,20 persen).

Kesenjangan sosial masyarakat tetap dominant terlihat. Ini terbukti dari persentase penduduk miskin di Riau sebagian besar berada di daerah perdesaan (12,90 persen), sedang di perkotaan ada sebesar 9,53 persen. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau baru-baru ini bahkan menegaskan, di Riau terdapat 663 desa yang masih pada kategori rawan pangan.

Dari 4,5 juta rakyat Riau, 54 persen di antaranya (usia di atas 10 tahun) hanya berpendidikan SD dan sebagian lagi tidak tamat SD. Riau juga masih memiliki beberapa suku terasing yang benar-benar teralienasi dari proses pembangunan. Sebut saja suku Sakai yang hidup di tengah kekayaan ladang minyak Duri, yang dikelola PT Caltex (sekarang PT Chevron). Juga suku Talang Mamak di kawasan Sungai Enok, Indragiri Hulu.

Tidak dipungkiri, sektor perkebunan dan kehutanan merupakan tulang punggung Riau membangun perekonomiannya. Namun, dampak negatif pemberian izin perkebunan atau hutan tanaman industri membuat daftar masalah makin panjang. Dari data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, setidaknya ada 320 titik konflik antara masyarakat dan perusahaan kayu atau perkebunan di Riau. Laju kerusakan hutan di Riau, menurut LSM pemerhati kehutanan, mencapai 160.000 ha per tahun. Buruknya kondisi hutan itu belum terjawab. Beberapa kepala daerah justru berancang- ancang mengubah lahan kosong di atas hutan lindung untuk perkebunan atau HTI demi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Fakta-fakta lain masih banyak lagi jika hendak disebutkan satu persatu. Namun, bukan sekedar data yang dibutuhkan saat ini, melainkan bagaimana fakta konkrit tersebut menjadi pemecut seluruh komponen masyarakat daerah ini untuk merasa bertanggung jawab dalam menentukan masa depan Riau yang lebih cemerlang di masa mendatang. Terutama lagi, ketika kita dihadapkan pada proses pergantian pemimpin yang akan digelar pada 2008. Setidaknya, kondisi Riau terkini itu bisa menjadi modal bersama untuk menentukan pemimpin yang benar-benar memahami persoalan sekaligus mencari jalan keluar terhadap persoalan tersebut.

Membangun Optimisme Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Ditengah persoalan yang masih mendera Riau sampai sekarang, muncul harapan besar ketika 2008 mendatang suksesi pemimpin daerah ini akan dipilih langsung oleh rakyat. Sistem pemilihan itu bagi Riau merupakan yang pertama kali akan dilakukan, dan sejarah kepemimpinan di Riau kelak akan mencatatnya, entah dengan tinta emas atau tinta hitam.

Yang pasti, kita semua berharap melalui Pilkada langsung itu, Riau nantinya dapat berubah lebih baik dibandingkan kondisi yang terjadi saat ini. Tidak mudah memang, karena untuk mendapatkan seorang pemimpin yang mampu membawa Riau ke arah sana, akan melewati banyak halangan.

Perlu digaris bawahi bahwa proses Pilkada yang diharapkan mampu berjalan dengan baik saat ini masih dihantui oleh banyaknya kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang akan terjadi, baik sebelum, saat, maupun setelah pemilihan dilangsungkan. Ketakutan ini cukup beralasan, mengingat banyak pihak masih menyangsikan kedewasaan berpolitik dari elit-elit politik maupun kelembagaan politik akhir-akhir ini.

Selain itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adakah calon-calon pemimpin yang bertarung pada Pilkada mendatang, memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab) yang teruji dihadapan masyarakat.

Kendati demikian, untuk sebuah masyarakat yang menginginkan perubahan fundamental kedepan, ketakutan-ketakutan diatas harus segera ditepis. Caranya, mari kita bangun optimisme di setiap diri kita, untuk menatap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilgubri 2008 mendatang akan lebih baik dari sekarang. Kita haru mampu berupaya membangun wacana “Demokratisasi” untuk bisa memberikan pendidikan politik (civil education ) kepada masyarakat, agar mereka bisa menentukan pilihan sesuai hati nuraninya masing-masing dalam memilih calon pemimpinnya.

Jika memang kecurangan-kecurangan politik tak dapat dihindari saat Pilgubri nanti, mulai dari sekarang perlu disosialisasikan usaha-usaha untuk menciptakan Pilgubri damai. Salah satunya mungkin bisa dilakukan dengan cara menyepakati kontrak politik dengan calon Kepala daerah, agar bisa mengendalikan dan mengkondisikan simpatisan dan konstituennya, selama proses Pilkada berlangsung.

Sedangkan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab), bisa dilakukan dengan cara mengajak para calon untuk menyusun program kerja kepemimpinannya, sehingga masyarakat bisa mengetahui kemampuan masing-masing calon untuk merumuskan program yang diusung.

Akhirnya, kita semua berharap dengan bekal optimisme terhadap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilkada 2008 mendatang, merupakan potensi besar menuju perubahan fundamental Riau kedepan. Semoga!! (Tulisan ini diikutkan pada lomba karya Tulis Piala Raja Muhammad Yunus, Yang diselenggarakan oleh Persatua Insan Pers Riau Desember 2007. Alhamdulillah, mendapat Juara 2 )




Share:

Menjawab Persoalan Kepemudaan

(Sumbang Saran Untuk Kepemimpinan KNPI Riau Kedepan)

Dalam penyelenggaraan Musyawarah Daerah (Musda) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau 25-28 Januari lalu, telah terpilih seorang nakhoda baru yang akan membawa KNPI Empat tahun kedepan. Lebih tepat, jika kita haturkan rasa salut akan tekad, keberanian, pengorbanan, dan kemauan yang begitu serius dari sang nakhoda untuk membawa beban berat krisis kepemudaan Riau saat ini.

Siapapun dia sang nakhoda, keberhasilan menjadi pemimpin organisasi tertinggi dibidang kepemudaan itu, hendaknya jangan dirayakan dengan suka cita yang berlebihan. Ini bukan keberhasilan mendapatkan peluang meraup kekayaan, juga bukan keberhasilan mendapatkan kekuasaan. Ini merupakan keberhasilan pembuktian kesungguhan secara tulus untuk membawa biduk KNPI menuju yang lebih baik lagi untuk Empat tahun kedepan. Dan, ini juga merupakan keberhasilan mendapatkan peluang untuk menunjukkan bahwa ditampuk kepemimpinan anda-lah, peran dan fungsi pemuda akan lebih banyak memberikan kontribusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan, ke-Riau-an, dan lebih luas lagi, juga persoalan-persoalan kebangsaan.

Bisa dimaklumi jika dalam sepekan dua pekan kedepan, konsentrasi kepemimpinan yang ada masih belum terhimpun secara total mengurusi langsung urusan keadministrasian, kesekretariatan, dan termasuk hal terpenting menjabarkan satu persatu program–program kerja kedepan, sebagai manifestasi menjawab persoalan terkini kepemudaan. Namun setidaknya, ada sedikit perhatian langsung ke arah sana, minimal untuk tetap meneruskan semangat yang sempat berkobar saat-saat masa pemilihan.

Perasaan subyektif ini sebenarnya tak ingin penulis ungkapkan disini, karena penulis dan termasuk juga seluruh komponen masyarakat --tak hanya pemuda-- mesti menyadari bahwa tanggung jawab mengemban misi kepemudaan adalah tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab ketua dan pengurus KNPI saja. Tetapi, hal yang juga patut digaris bawahi disini bahwa sosok pemimpin harus mampu menjadi pelopor, inisiator, pemicu, sekaligus penyemangat dalam menggerakkan seluruh potensi yang berada dibawah kendalinya. Karena itulah, tak bisa dihindari, ketika berbicara tentang sebuah persoalan komplek, perlu proses analisa reduksi yang akhirnya membawa kepada hal-hal yang berlingkup kecil/sempit, termasuk unsur subyektivitas tadi. ***

Bekal kepemimpinan terbaik yang harus dimiliki seorang pemimpin sebelum memulai kerja keras kedepan, bagian kecilnya adalah Niat / Nawaitu. Banyak orang bilang, jika niat seseorang baik, maka hasilnya pun akan baik. Begitu sebaliknya. Namun, kembali kepada persoalan Subyektif lagi. Niat seseorang siapa yang tahu, karena niat lebih merupakan perkataan hati yang paling dalam dari diri seseorang. Kadang ia bisa dengan tulus diucapkan, bahkan kadang ia bisa menjadi samar. Bak kata pepatah “Didalam laut boleh diduga, dalam hati siapa tahu”, sulit menduga pikiran dan hati seseorang. Kendati demikian, kita semua tak ingin menaruh prasangka buruk akan niat sang Ketua terpilih untuk membawa biduk KNPI ini kemana. Satu niatan bersama yang harus diusung secara bersama pula, yakni bagaimana KNPI kedepan dapat menjadi gerbong lokomotif terdepan yang membawa dan mengarahkan semua potensi kekuatan didalamnya kepada nilai-nilai kemaslahatan kehidupan masyarakat.

Bekal terbaik kedua dalam membawa biduk KNPI, yakni memahami persoalan-persoalan kepemudaan, dan memahami bagaimana menjawabnya. Dalam kenyataan yang ada, begitu banyak persoalan kepemudaan yang hingga hari ini belum terjawab yang dampaknya memang tak bisa langsung dirasakan sekarang. Persoalan-persoalan krusial, jika ingin disebutkan, salah satunya adalah kualitas mental dan akhlak pemuda, merupakan garansi terhadap kelangsungan kehidupan di beberapa masa kemudian.

Berbicara kualitas mental, akhlak pemuda, sedikit banyak akan memasuki ranah pribadi seseorang, dalam hal ini individu pemuda itu sendiri. Bagaimana pendidikannya, hingga sejauhmana usahanya membina secara mandiri akhlak dirinya. Namun demikian, setiap manusia (pemuda) memiliki hak pula untuk mendapatkan pendidikan, yang dalam hal ini dituntut peran serta pemerintah dalam menciptakan kemudahan masyarakat mengakses pendidikan. Yang pasti, tanggung jawab membentuk manusia atau pemuda yang berkualitas, terletak pada semua pihak terkait didalamnya, termasuk kaum muda itu sendiri.

KNPI sebagai wadah berhimpunnya kaum muda merupakan bagian penting dalam usaha membentuk kader-kader pemuda yang berkualitas, baik secara intelegensi, maupun emosional. Karena, organisasi yang berdiri sejak tahun 1973 ini

Ketika hari ini masih dirasakan belum berhasilnya penciptaan pemuda yang berkualitas itu tadi, tak sepenuhnya pula ini adalah imbas gagalnya fungsi dan peran KNPI mengelola dan mengatur sebaik mungkin potensi kepemudaan yang ada. Banyak faktor lain yang juga ikut menentukan hal itu. Satu hal yang bisa disebut adalah kondisi kritis yang diciptakan sendiri oleh kaum muda itu sendiri.

Pertama, secara kasat mata, saat ini tak terlihat lagi gerakan kaum muda mewarnai proses pembangunan secara tulus. Amat banyak kepentingan memboncenginya. Ini akibat kaum muda secara sengaja telah melibatkan diri kedalam ruang-ruang kepentingan. Mari kita sadari ini, dan mari kita kilas balik perjuangan kaum muda dalam beberapa periodesasi kebelakang. Beberapa periode kebangkitan kaum muda, mulai dari 1928, 1945, 1966, 1998, merupakan kebangkitan sungguh-sungguh yang disumbui oleh kepentingan memihak yang lemah.Bahkan, beberapa diantaranya dilakukan secara heroik, merelakan nyawa sekalipun.

Kaum muda saat ini, merasa lebih elegan tampil dengan banyak atribut kelembagaan, baik nama, kostum, kebesaran para pendahulu dan berbagai konsepsi-konsepsi teknis semu didalamnya. Dengan berbagai atribut itulah, ia merasa bisa eksis, dan dianggap terus ada. Parahnya, tak sedikit yang menggunakan atribut keorganisasian tersebut, sebagai alat untuk mencari keuntungan sekelompok orang yang berhimpun didalamnya.

Sebuah gerbong kaum muda, jika memang gerakan tulus, mengapa harus berlindung dibalik sebuah partai, institusi, dan sebagainya. Sedikit banyak, kooptasi kepentingan partai tak bisa dihindari akan selalu mewarnai gerak dan perjalanan kaum muda yang dikadernya.

Melihat daftar peserta Musda KNPI kemarin, terdapat sekitar 80 hingga 90-an organisasi kepemudaan (OKP) yang secara resmi dinaungi KNPI Riau. Dari sekian banyak OKP tersebut, mungkin tak banyak diantaranya yang memiliki history organisasi yang mampu menjadi spirit keberlangsungan organisasi tersebut. Bahkan mungkin juga, dari sejumlah OKP tersebut tak banyak nama yang mungkin dikenal oleh publik secara luas. Ini karena, publik memang tak merasakan kontribusi langsung mupun tak langsung, atas keberadaan berbagai OKP tersebut. Jikapun ada, masih diragukan kontribusi yang diberikan tanpa mengharap apa-apa.

Penting menjadi catatan bagi KNPI kedepan, bahwa perlu perombakan sistematis dan bila perlu dilakukan secara total, terhadap mekanisme penghimpunan dan pengelolaan potensi kepemudaan. KNPI sebagai wadah berhimpun organisasi kepemudaan, kiranya harus mampu menata ulang kembali konsep membangun dan mengelola potensi kepemudaan saat ini. Jika tidak, kondisi organisasi kepemudaan tak akan pernah mampu mencatat prestasi tersendiri.

Terhadap keberadaan OKP-OKP yang sudah ada, hendaknya dibebankan sebuah tanggung jawab bersama dan tanggung jawab khusus sesuai dengan identitas, fokus, dan warna organisasi. Yang terpenting, bagaimana menitipkan agenda-agenda keummatan menjadi satu bagian pencapaian organisasi. Secara teknis, untuk mempertanggungjawabkan beban tersebut, tak ada salahnya jika dibuat aturan-aturan yang disepakati bersama, yang mengatur tentang sanksi ataupun kompensasi atas keberhasilan/kegagalan menjalankan tanggung jawab tadi.

Masih dalam tataran abstraksi persoalan kepemudaan, perlu disadari bahwa kontribusi kaum muda saat ini dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat masih dalam fase kemandulan. Jika ditelusuri penyebabnya ini akan membawa kita kembali mendefinisi apa itu kaum muda, dan apa saja perannya.

Jiwa kepemudaan yang sebenarnya adalah terdapat pada pemuda-pemuda yang belum terkontaminasi oleh kepentingan, jauh dari akses kekuasaan, dan alergi terhadap nilai-nilai kemapanan. Boleh suka atau tidak, namun ketiga karakter itulah yang malah banyak melenakan kaum muda saat ini. Kekuasaan, kepentingan, dan nilai-nilai yang mapan semakin menjadi buruan, bahkan realitasnya dilapangan begitu tanpa malu dipertunjukkan.

Terlalu munafik kiranya jika harus mengatakan posisi Ketua KNPI bukanlah sebuah batu loncatan, atau bukanlah sebuah posisi tanpa bias apapun bagi karir dan kejayaan seseorang. Mengapa? Karena memang harus diakui, jabatan tertinggi di struktur organisasi sekelas KNPI, merupakan jabatan strategis yang dapat menunjang perjalanan karir seseorang selanjutnya. Jabatan itu, setidaknya menjadi tolak ukur kualitas seseorang, terutama dalam hal kemampuan kepemimpinan.

Yang patut dikhawatirkan dalam hal ini, ketika jabatan strategis ini digunakan untuk mempermudah akses-akses mendapatkan kekuasaan, mendapatkan proyek, dan sejumlah kepentingan lain yang menguntungkan sedikit orang saja. Tugas dan tanggungjawab yang seharusnya dijalankan, akhirnya berjalan pada tataran legalitas formal dan seremonial saja. Bahkan hal terburuk sekalipun, dapat terjadi yang akhirnya menenggelamkan biduk kepemudaan di lautan kebutuhan masyarakat yang terus meriak.

Menjawab sedikit persoalan kaum muda yang telah dipapar diatas, ada beberapa hal yang dapat diprioritaskan. Pertama, perlu kesadaran kolektiv dan responsibility kaum muda akan tanggung jawab besar memikul agenda sosial dan moral, memperjuangkan nasib kaum lemah. Peran penyadaran ini, mungkin bisa diambil alih oleh KNPI secara langsung.

Kedua, untuk bebas dari berbagai tekanan, desakan, baik yang datang dari individu pemuda sendiri maupun dari kepentingan pihak lain, kaum muda hendaknya membangun kekuatan mendasar untuk menopang perjuangan. Jika memang terdapat agenda-agenda kebutuhan ekonomi, finansial organisasi, dan hal-hal lain yang mengharuskan adanya take and give dengan pihak lain, seminimal mungkin dilakukan sebatas kebutuhan yang diperlukan. Diakui, memang susah untuk melepaskan diri dari interaksi yang telah dijalin baik dengan pihak lain, terutama pemerintah. Namun, hal ini tergantung kepada kesadaran kolektif tadi, jika benar-benar dimaknai dengan totalitas, dengan sendirinya akan memagari idealisme agar tidak terkontaminasi.

Hal lain yang mungkin bisa diperankan oleh KNPI kedepan untuk membangun kaum muda yang produktif adalah memberdayakan potensi kaum muda itu sendiri. Perlu diingat, dalam usaha pemberdayaan ini, jangan ada kooptasi aturan yang nantinya mengekang kaum muda untuk ikut berapresiasi, khususnya bagi kaum muda potensial yang secara kebetulan masih termarjinalisasi secara akses sosial dan keorganisasian. Rangkul semua potensi kaum muda, mulai dari kota hingga ke pelosok desa. Saatnya gerakan kaum muda saat ini untuk tampil pada tataran nyata, yakni aktif, responsiv, dan produktif.*** *Dodita (Peminat Masalah Kepemudaan, saat ini aktif di Forum Lingkar Pena dan Forum Kajian Lintas Sektoral –FK-Literal)

Share: