Friday, July 18, 2008

Membangun Masyarakat Entrepreneur; Solusi Bangkit Dari Kemiskinan


FOTO : Sejumlah warga miskin antre untuk mencairkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kantor Pos Besar, Semarang, Jawa Tengah, 28 Mei 2008. Hingga kemarin PT Pos telah mendistribusikan BLT kepada sekitar 36.460 warga miskin di kota Semarang. [TEMPOphoto]


Potret kemiskinan kian massif terjadi di Indonesia. Sudahlah terjadi dengan sendirinya akibat ketidakberdayaan masyarakat secara mandiri mengangkat status ekonomi hidupnya, masih pula dihimpit dengan berbagai situasi tidak kondusif bangsa ini. Krisis ekonomi, inflasi, ketidakstabilan politik dan keamanan, ibarat tak ada batas dengan fenomena gizi buruk, putus sekolah, nasi aking, busung lapar, PHK, dan sejumlah fakta lain yang mengisahkan hilangnya daya bertahan hidup masyarakat miskin.

Selain massif, kemiskinan ini juga terdengar miris. Mengapa? Di saat yang sama, masyarakat dunia bahkan mengetahui bahwa negeri ini memiliki prestasi yang baik untuk kasus korupsi. Bahkan Indonesia juga diakui mengisi daftar orang terkaya di Asia. Pemilik apartemen Singapura mayoritas adalah WNI. Salah satu pasar terbesar mobil mewah dengan harga miliaran rupiah di Asia adalah negeri tercinta. Pemilik terbanyak handphone canggih seperti Nokia communicator adalah penduduk Indonesia.


Secara statistik, baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) kita mengeluarkan angka kemiskinan bulan Maret 2008 sebesar 15,42 persen, atau sekitar 35 juta jiwa. Angka ini diprediksi membengkak pasca inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Mei 2008 yang lalu. Ini berarti jumlah penduduk miskin saat ini dan beberapa bulan kedepan terus menambah panjang trend fluktuasi jumlah penduduk miskin di negara ini sepuluh tahun terakhir.

Begitulah kondisi terakhir yang kita hadapi. Pergantian rezim, kepemimpinan, dan corak pembangunan selama perjalanan bangsa ini belum mampu memberikan perubahan signifikan terhadap perbaikan nasib rakyat. Satu dasawarsa terakhir, bertepatan dengan Sepuluh tahun bergulirnya reformasi, penggerusan kemiskinan itupun masih belum berujung. Transisi dari alam otoritarian ke demokrasi belum mewujudkan harapan untuk hidup lebih sejahtera.

Kemiskinan; Problem bersama nurani kemanusiaan kita

Tidak patut mencari siapa yang salah atas kondisi terpuruknya nasib rakyat seperti sekarang ini. Namun akan lebih bijak jika dianalisis mengenai apa yang salah dalam upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, dan bagaimana upaya mengatasinya.

Agenda kemiskinan, terus menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan. Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.

Kalau boleh ditambah, salah satu kelemahan yang lain adalah kita tidak sungguh-sungguh untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama. nurani kemanusiaan kita. Sehingga apapun cara mengatasinya, kerap bernuansa tambal sulam.

Membangun Masyarakat Entrepreneur

Kendati bersifat jangka panjang dan butuh keseriusan, membangun masyarakat entrepreneur atau berjiwa usaha adalah jawaban yang cukup realistis untuk diambil guna mengatasi kemiskinan. Kemiskinan erat kaitannya dengan pengangguran, sedangkan pengangguran tak lepas dari lemahnya akses memasuki pasar kerja, dan timpangnya jumlah tenaga kerja terhadap lapangan pekerjaan yang tersedia. Menanamkan nilai-nilai entrepreneurship dapat menjadi alternativ untuk menghadapi kondisi itu. Selain menstimulir terciptanya peluang kerja bagi individu maupun orang lain, juga berpotensi menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk bangkit dari kemiskinan.

Paling tidak, ada tiga faktor dan komponen penting yang mesti berperan dalam menumbuhkan entrepreneurship dalam masyarakat, yakni pertama pemerintah. Sebagai decision maker, pemerintah mau tidak mau harus berani menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi rakyat, melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang memihak. Jangan sampai roda ekonomi rakyat mandek karena persoalan modal, dominasi pengusaha besar, dan birokrasi yang mengekang.

Kedua, adanya peran pihak ketiga, yakni swasta. Swasta kiranya mampu menjadi motivator kedua setelah pemerintah dalam menggairahkan mikro ekonomi, seperti home industry, pelayanan jasa, dan sebagainya. Yang ketiga adalah masyarakat itu sendiri. Kita tahu masyarakat tidak semuanya miskin, dan tidak semuanya berfikir dan bertindak statis. Ada kelompok masyarakat pembaharu yang tidak suka dengan ketimpangan sosial, dan ketertindasan. Nah, bersama kelompok inilah kiranya kreativitas dan aksesibilitas masyarakat diharapkan semakin berkembang dalam upaya memajukan aktivitas usaha.

Spirit entrepreneur setidaknya memuat semangat kemandirian yang diperlukan dalam membangun bangsa. Tidak ada salahnya jika spirit ini menjadi ruh dalam agenda pembangunan Indonesia kedepan, yang dapat dimulai dari sekarang atau setidaknya pada periode kepemimpinan hasil pemilu 2009 mendatang. *** (diposting Jumat 18 Juli 2008)
Share: