Tuesday, November 11, 2008

Tidak Penting Siapa Anda Sekarang

Siapakah Anda hari ini? Tidak lulus sekolah, lulusan SMA , lulusan D3, atau malah sudah sarjana, doktor sekalipun? Tapi apakah posisi Anda sekarang ini? Apakah masih pengangguran, sibuk mencari kerja ataukah karyawan dengan gaji pas-pasan atau menjelang usia pensiun atau malah ada yang sudah pensiun? Itu semua tidak penting. Hari ini boleh jadi Anda belum sukses atau pada posisi kalah, tapi orang lain bisa melihat siapa Anda tiga tahun atau kalau kurang lama lihatlah diri Anda sendiri lima tahun mendatang. Anda yang bisa menggambarkan siapakah Anda lima tahun mendatang.

Kekuatan mimpi
Mimpi bisa saja diartikan cita-cita kalau kita benar benar ingin mewujudkannya. Biasanya kalau cita-cita ini sudah ada rencana untuk pencapaiannya. Tapi kalau mimpi ini lebih ngawur dan bahkan terkesan tidak masuk akal. Hanya pemimpi yang mampu mengubah wajah dunia. Dulu terkesan aneh bila ada orang yang mampu terbang di angkasa, namun sekarang dengan teknologi pesawat manusia bisa menempuh jarak beratus kilometer lewat udara dengan waktu yang relatif singkat.


Begitu pula Anda, jangan takut bermimpi untuk menjadi siapa, memiliki apa untuk beberapa tahun ke depan. Begitu pula mimpi bisnis, anda bisa saja melihat peluang di pasaran. Sehingga dengan kemampuan otak kanan dan mimpi, anda mengambil peluang itu dengan harapan dua tahun lagi bisnis inilah yang akan menghantarkan Anda mewujudkan mimpi selanjutnya.

Mimpi Fisik dan Spesifik
Bisnis itu parameternya fisik. Anda bisa dibilang sukses dalam bebrbisnis kalau sudah ada faktanya berupa rumah mewah, mobil mewah dan lain-lain yang mewah. Itu kalau Pengusaha besar. Kalau pengusaha sedang, paling-paling sudah memiliki mobil kijang, dan pick up bisa dibilang kaya. Tapi yang penting bagi orang umum adalah yang tampak fisik. Meskipun hakekat bisnis tidak hanya dilihat dari fisik. Jumlah karyawan juga bisa melihat besar kecilnya usaha. Sehingga, mimpi pun harus fisik, spesifik dan ada target waktu. Karena ini urusannya dunia, jadi harus nyata. Misalnya saya bermimpi lima tahun lagi memiliki rumah berharga Rp2 M dengan mobil Mercy 260 di garasi. Tidak penting siapa Anda sekarang. Kan bermimpi saja gratis. Jadi apa saja mimpi Anda? Tulis sekarang!

Kekuatan Doa
Berdoa merupakan sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan meminta restu-Nya untuk merealisasikan cita-cita kita. Dengan berdoa insya Allah akan menambah daya optimis dari keinginan kita. Dan yang penting adalah restu dari Allah. Jadi doa ini seperti pengajuan proposal ke Tuhan.

Setelah kita bermimpi yang boleh tidak terbatas (pakai otak kanan), setelah itu kita pakai otak kitri untuk membuktikannya. Lihatlah kondisi nyata sekarang. Dan bangunlah jembatan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Dengan kekuatan mimpi, kekuatan doa dan kekuatan Proses ini lah yang akan mendorong mimpi tersebut segera terwujud.

Revisi Mimpi
Namanya saja mimpi, sudah gratis, bisa diubah-ubah semaunya. Bisa saja mimpi Anda mencapai rumah Rp2 M sudah tercapai dalam waktu tiga tahun, maka sah saja kita merefisi mimpi untuk dua tahun sisanya.

Penutup
Naah, mimpi kan gratis. Kenapa kita takut bermimpi. Yang perlu ditakutkan adalah kesiapan mental kita kalau-kalau mimpi tersebut menjadi kenyataan.

Oleh: Masbukhin Pradhana. bukhin@yahoo.com
Profile: http://masbukhinpradhana.blogspot.com
Share:

Friday, July 18, 2008

Membangun Masyarakat Entrepreneur; Solusi Bangkit Dari Kemiskinan


FOTO : Sejumlah warga miskin antre untuk mencairkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kantor Pos Besar, Semarang, Jawa Tengah, 28 Mei 2008. Hingga kemarin PT Pos telah mendistribusikan BLT kepada sekitar 36.460 warga miskin di kota Semarang. [TEMPOphoto]


Potret kemiskinan kian massif terjadi di Indonesia. Sudahlah terjadi dengan sendirinya akibat ketidakberdayaan masyarakat secara mandiri mengangkat status ekonomi hidupnya, masih pula dihimpit dengan berbagai situasi tidak kondusif bangsa ini. Krisis ekonomi, inflasi, ketidakstabilan politik dan keamanan, ibarat tak ada batas dengan fenomena gizi buruk, putus sekolah, nasi aking, busung lapar, PHK, dan sejumlah fakta lain yang mengisahkan hilangnya daya bertahan hidup masyarakat miskin.

Selain massif, kemiskinan ini juga terdengar miris. Mengapa? Di saat yang sama, masyarakat dunia bahkan mengetahui bahwa negeri ini memiliki prestasi yang baik untuk kasus korupsi. Bahkan Indonesia juga diakui mengisi daftar orang terkaya di Asia. Pemilik apartemen Singapura mayoritas adalah WNI. Salah satu pasar terbesar mobil mewah dengan harga miliaran rupiah di Asia adalah negeri tercinta. Pemilik terbanyak handphone canggih seperti Nokia communicator adalah penduduk Indonesia.


Secara statistik, baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) kita mengeluarkan angka kemiskinan bulan Maret 2008 sebesar 15,42 persen, atau sekitar 35 juta jiwa. Angka ini diprediksi membengkak pasca inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Mei 2008 yang lalu. Ini berarti jumlah penduduk miskin saat ini dan beberapa bulan kedepan terus menambah panjang trend fluktuasi jumlah penduduk miskin di negara ini sepuluh tahun terakhir.

Begitulah kondisi terakhir yang kita hadapi. Pergantian rezim, kepemimpinan, dan corak pembangunan selama perjalanan bangsa ini belum mampu memberikan perubahan signifikan terhadap perbaikan nasib rakyat. Satu dasawarsa terakhir, bertepatan dengan Sepuluh tahun bergulirnya reformasi, penggerusan kemiskinan itupun masih belum berujung. Transisi dari alam otoritarian ke demokrasi belum mewujudkan harapan untuk hidup lebih sejahtera.

Kemiskinan; Problem bersama nurani kemanusiaan kita

Tidak patut mencari siapa yang salah atas kondisi terpuruknya nasib rakyat seperti sekarang ini. Namun akan lebih bijak jika dianalisis mengenai apa yang salah dalam upaya pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, dan bagaimana upaya mengatasinya.

Agenda kemiskinan, terus menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan. Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.

Kalau boleh ditambah, salah satu kelemahan yang lain adalah kita tidak sungguh-sungguh untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama. nurani kemanusiaan kita. Sehingga apapun cara mengatasinya, kerap bernuansa tambal sulam.

Membangun Masyarakat Entrepreneur

Kendati bersifat jangka panjang dan butuh keseriusan, membangun masyarakat entrepreneur atau berjiwa usaha adalah jawaban yang cukup realistis untuk diambil guna mengatasi kemiskinan. Kemiskinan erat kaitannya dengan pengangguran, sedangkan pengangguran tak lepas dari lemahnya akses memasuki pasar kerja, dan timpangnya jumlah tenaga kerja terhadap lapangan pekerjaan yang tersedia. Menanamkan nilai-nilai entrepreneurship dapat menjadi alternativ untuk menghadapi kondisi itu. Selain menstimulir terciptanya peluang kerja bagi individu maupun orang lain, juga berpotensi menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk bangkit dari kemiskinan.

Paling tidak, ada tiga faktor dan komponen penting yang mesti berperan dalam menumbuhkan entrepreneurship dalam masyarakat, yakni pertama pemerintah. Sebagai decision maker, pemerintah mau tidak mau harus berani menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi rakyat, melalui berbagai kebijakan dan regulasi yang memihak. Jangan sampai roda ekonomi rakyat mandek karena persoalan modal, dominasi pengusaha besar, dan birokrasi yang mengekang.

Kedua, adanya peran pihak ketiga, yakni swasta. Swasta kiranya mampu menjadi motivator kedua setelah pemerintah dalam menggairahkan mikro ekonomi, seperti home industry, pelayanan jasa, dan sebagainya. Yang ketiga adalah masyarakat itu sendiri. Kita tahu masyarakat tidak semuanya miskin, dan tidak semuanya berfikir dan bertindak statis. Ada kelompok masyarakat pembaharu yang tidak suka dengan ketimpangan sosial, dan ketertindasan. Nah, bersama kelompok inilah kiranya kreativitas dan aksesibilitas masyarakat diharapkan semakin berkembang dalam upaya memajukan aktivitas usaha.

Spirit entrepreneur setidaknya memuat semangat kemandirian yang diperlukan dalam membangun bangsa. Tidak ada salahnya jika spirit ini menjadi ruh dalam agenda pembangunan Indonesia kedepan, yang dapat dimulai dari sekarang atau setidaknya pada periode kepemimpinan hasil pemilu 2009 mendatang. *** (diposting Jumat 18 Juli 2008)
Share:

Thursday, April 17, 2008

"Berspekulasi di Garis Offside"


Suka nonton sepakbola? Jika iya, jangan bilang anda tidak mengerti istilah offside. Istilah offside tak kalah populer dengan istilah bola lainnya, seperti penalti, hiding, hattrick, golden goal, tackle, injury time, free kick, corner kick dan lainnya. Bahkan, offside lebih sering terjadi dalam sebuah laga sepakbola.

Menurut definisinya, offside merupakan jenis larangan bagi pemain bola menerima umpan saat berada di posisi paling depan barisan lawan. Seorang pemain kadang diuntungkan jika pandai-pandai melakukan trik Offside, namun kerap pula pemain membawa kesal saat langkahnya dinyatakan offside oleh hakim garis lapangan.

Tapi, saya tidak mengajak anda bicara sepakbola disini. Melainkan, bicara soal politik. Lho? Ya. Pelanggaran Offside ternyata suka dilakukan politikus-politikus kita. Disini saya ambil contoh soal Pilgubri 2008. Pada masa pencalonan, sebelum masa kampanye, seorang calon Gubri H Rusli Zainal cukup berani masuk dalam jebakan offside. Saat itu, kebetulan Beliau yang masih menjabat sebagai Gubri (incumbent) menghadiri pembukaan MTQ Ke-27 di Kabupaten Siak Sri Inderapura 5 April 2008. Ternyata, disana ia membagi-bagikan berbagai macam souvenir berupa tas, Kalender, jam tangan, jilbab, kepada peserta dan tamu undangan.


Souvenir-souvenir itu lengkap dengan foto sang Gubernur. Ia lakukan itu memang bukan sendiri, namun terkoordinasi melalui bawahan2nya. Beberapa hari setelah acara itu, media massa ternyata gerah juga. Ulah sang Incumbent menjadi headline di beberapa koran harian dan mingguan. Namun, berita cuma berita. Habis dibaca, hilanglah sudah. Tak ada tanda-tanda dari Panwas dan KPU merespon berita pelanggaran Offside tersebut. Padahal, hal itu jelas-jelas menyalahi aturan main Pilkada yang melarang setiap calon berkampanye di tengah masyarakat sebelum waktu yang ditentukan.

Menariknya lagi, prilaku spekulatif bermain offside ini ternyata sudah dirancang Rusli Cs jauh-jauh hari sebelum klimaksnya di pembukaan MTQ tadi. Sebulan sebelumnya, jam tangan bergambar Rusli sudah beredar di kelurahan Bukit Raya Kecamatan Tenayan Raya Pekanbaru. Ceritanya, paman saya yang memiliki kedai aksesoris dan termasuk didalamnya melayani jasa pemotongan tali jam, didatangi seorang warga yang meminta tali jam tangannya di potong sebagian. Jam tangan bergambar Rusli Zainal itu belakangan diketahui baru saja ia peroleh dua hari sebelumnya, dari seorang yang ia tidak kenal.

Sayangnya, tak ada hakim garis yang berani mengangkat bendera kuning bagi pemain bernomor punggung BM 1 Riau itu. Karena memang peluit dimulainya pertandingan Pilgubri belum ditiup sang wasit ketika itu. Akhirnya, yang ada hanya sebentuk kekesalan di kubu lawan.
Memang, ada dua konsekuensi yang berpeluang didapat Rusli dengan melakukan tindakan itu. Pertama, dikalangan masyarakat awam ia mungkin mendapat simpati karena masyarakat akan merasa berhutang budi, karena telah diberi jam tangan, kalender, jilbab dan souvenir tadi.
Kedua, dikalangan yang melek politik, perbuatan itu jelas akan dinilai sebagai kecurangan berpolitik. Jika masyarakat sudah menilai seperti itu, potensi kehilangan suara Rusli semakin besar. Yang diuntungkan adalah lawan-lawannya.

Prilaku curi start seperti ini menunjukkan belum adanya kedewasaan berpolitik ditingkat elit. Perkara menang kalah merupakan hal yang biasa dalam sebuah pertarungan. Seorang petarung sejati, pantang baginya berlaku curang. Perlakuan curang hanyalah dilakukan oleh petarung-petarung yang tak yakin kemenangan bakal diraihnya. Jadi, berhentilah berspekulasi di garis offside !
Share:

Saturday, April 12, 2008

Menata Gejolak Otonomi Daerah, Membangkitkan Nasionalisme Kebangsaan

Semakin tinggi pohon, semakin besar pula terpaan angin. Pepatah lama ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Pepatah tersebut merupakan sebuah ungkapan bahwa semakin besar atau semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar pula ujian dan tantangan yang dihadapinya. Termasuk terhadap sebuah Negara/bangsa. Semakin maju dan besar sebuah Negara/bangsa, akan semakin besar pula potensi masalah yang bakal timbul di Negara/bangsa tersebut, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Ini sudah menjadi hukum alam.

Bangsa Indonesia terbilang sebagai bangsa yang besar, baik besar atas keragaman suku-suku dan budayanya, maupun besar atas potensi kekayaan alam yang ada. Ditambah lagi, bangsa yang telah mengecap kemerdekaan selama hampir 63 tahun ini, memiliki ideology dan landasan bernegara yang kokoh, sehingga setiap terpaan yang datang mampu diatasi bangsa ini. Kendati demikian, kembali kepada hukum alam. Besarnya bangsa ini, tak akan lepas dari masalah-masalah kebangsaan. Disinilah ujian berat bagi bangsa yang besar. Jika mampu mengatasi permasalahan dengan baik, niscaya bangsa yang besar akan bertambah kuat.


Sebaliknya, jika permasalahan tak diatasi dengan baik, bisa-bisa menjadi ancaman yang dapat menimbulkan lemahnya keutuhan dan kekuatan bangsa.Di tengah menggelindingnya persoalan ekonomi yang tak pernah henti, bangsa juga harus menghadapi adanya ancaman krisis berkebangsaan yang terus bergulir. Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah timbulnya ego-ego kedaerahan yang bermuara kepada keinginan untuk memisahkan diri dari sebuah kesatuan. Ego kedaerahan muncul seiring maraknya pemekaran wilayah di Indonesia.

Walaupun isu utama yang diusung masing-masing daerah memekarkan diri adalah desentralisasi, namun ego daerah masih saja kerap mewarnai setiap perjuangan yang dilakukan untuk menggolkan usulan tersebut. Pemekaran wilayah tak lagi sebatas wacana sejak dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah di akhir dasawarsa 1990-an. Tujuan semula UU ini diantaranya untuk memicu percepatan pembangunan di daerah, dengan memperbesar peluang masyarakat untuk dapat berperan dalam pembangunan di daerah masing-masing. Dalam konteks baku, desentralisasi dan otonomi daerah diagendakan bukan hanya dalam rangka upaya mempertahankan keutuhan NKRI semata di dalam kepusparagamannya. Dan juga bukan sekadar penyerahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah. Tetapi lebih jauh dari itu, menyangkut agenda penyertaan masyarakat di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri.

Sejak diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 hingga berlakunya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah dibentuk 7 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota sebagai daerah pemekaran. Propinsi Riau Ditengah Boomingnya Otonomi Daerah. Seiring dengan berhembusnya angin otonomi daerah telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri.

Klimaks dari otonomi daerah di daerah ini terjadi pada 4 Oktober 1999 dimana provinsi Riau yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kotamadya, menjadi 16 kabupaten/kota. Beberapa kabupaten baru hasil pemekaran itu antara lain kabupaten Rokan Hilir (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Siak (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kota Dumai (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Kuantan Singingi (pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu), Kabupaten Pelalawan (pemekaran dari Kabupaten Kampar), Kabupaten Rokan Hulu (pemekaran dari Kabupaten Kampar)

Kemudian, pada 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi Provinsi ke 32 di Indonesia. Itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantang Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai.

Sebelumnya hampir bersamaan dengan usulan pemekaran Provinsi Riau menjadi Riau dan Riau Kepulauan, muncul pula wacana pembentukan Provinsi Riau Pesisir yang wilayahnya direncanakan meliputi kabupaten-kabupaten di sepanjang pantai Riau Daratan, seperti Dumai, Rokan Hilir, Pelalawan, Siak, dan Bengkalis. Sebenarnya, sebelum terbagi menjadi dua propinsi (propinsi Riau dan propinsi Kepri), Propinsi Riau telah banyak mengalami jatuh bangun dalam upaya memperjuangkan otonomisasi daerah. Berbagai bentuk perjuangan telah dilakukan baik berskala lokal maupun nasional. Salah satunya melalui Kongres Rakyat Riau (KRR) yang menghasilkan kesepakatan membentuk Negara “Riau Merdeka”. KRR yang telah dua episode dilakukan merupakan upaya pengakuan bahwa masyarakat Riau memiliki hak untuk menentukan masa depannya.

Namun sayangnya, lagi-lagi hasil dari KRR ini, yaitu beberapa rekomendasi menyangkut masalah Monopoli, Masyarakat, Sumber daya Alam, Sumberdaya Manusia, Sosial ekonomi, dan Budaya, tak dapat direalisasi dengan mulus dikemudian hari. Wacana pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Riau kembali menyeruak ke permukaan pada awal 2008. Riak-riak untuk 'pisah ranjang' dengan kabupaten induk yang dulunya kecil itu kini kian bertambah besar. Aksi unjuk rasa di sejumlah kantor pemerintah dan legislatif daerah terus bermunculan. Masyarakat yang menuntut pemekaran daerah adalah warga di Kecamatan Meranti dan Mandau, yang ingin berpisah dari Kabupaten Bengkalis, Rokan Darussalam ingin 'bercerai' dari Kabupaten Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir Selatan hendak melepaskan diri dari Kabupaten Indragiri Hilir. Begitu juga dengan Tapung dan Kampar Kiri yang ingin berpisah dari Kabupaten Kampar.

Kesenjangan pembangunan infrastruktur antara ibu kota kabupaten dan kecamatan menjadi isu sentral pemicu ketidakpuasan mereka bergabung dengan kabupaten induk.

Dampak-dampak Pemekaran wilayah
Meskipun umumnya pemekaran wilayah berangkat dari aspirasi yang baik, terutama untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan publik, namun dari berbagai evaluasi yang dilakukan, terlihat bahwa sebagian besar dari daerah-daerah pemekaran itu belum mampu mewujudkan keinginan itu. Dalam realisasinya, yang tampak adalah munculnya raja-raja kecil di daerah-daerah, oligarki lokal yang memanfaatkan kekuasaan dengan tujuan mengeksploitasi rakyat lokal baik secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nyata nampak mulai tidak efektif dan tidak efisien. In-efisiensi penggunaan sumberdaya cenderung tidak terkendali. Diperparah lagi dengan dominasi legislatif atas eksekutif menambah makin carut-marutnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lepasnya Kepulauan Riau misalnya, memiliki implikasi yang multi aspek hal tersebut dapat dilihat antara lain dengan hilangnya wilayah perairan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) seluas 379.000 Km2, berkurangnya luas wilayah laut teritorial dari 95.561,61 Km2 menjadi 83.966,20 Km2 kurang lebih 11,20% serta berkurangnya sumber daya hayati, sumber daya alam baik itu minyak dan gas serta hilangnya sumber daya buatan lainnya seperti “Growth Triangle” (SIJORI, IMS-GT, dan IMT-GT)

Selain itu, secara psikologis, pemekaran wilayah cenderung menimbulkan friksi-friksi antara daerah lama dan daerah yang akan dimekarkan. Bahkan, tak jarang yang memanfaatkan kondisi tersebut guna kepentingan politis sesaat.

Wacana ingin lepasnya kabupaten Meranti dan Mandau dari kabupaten Bengkalis misalnya, menimbulkan hubungan yang rawan antara masyarakat di kedua wilayah calon pemekaran itu dengan pemerintah kabupaten induk, Bengkalis. Pasalnya, Pemkab Bengkalis menolak melepas Meranti dan Mandau yang merupakan daerah kaya sumber daya alam dan menjadi penopang utama pendapatan daerah tersebut. Menyikapi itu, sejumlah tokoh yang mengaku wakil masyarakat pro pemekaran tidak kehilangan akal. Diam-diam, perwakilan mereka (Meranti dan Mandau) melewati 'jalan tol' menuju DPR Senayan dengan melangkahi Pemkab Bengkalis dan DPRD.

Angin surga dari Senayan pun berhembus. Keluarnya Surat Presiden RI (R 01/Pres/2007) tertanggal 2 Januari 2007 yang ditujukan kepada Ketua DPR tentang 16 Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR tentang Pembentukan Kabupaten/Kota yang Baru di antaranya pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti dan Mandau menjadi surat sakti bagi masyarakat di dua daerah tersebut. Hubungan tak akur pun semakin menjadi diantara Pemkab Bengkalis dan kedua daerah pro pemekaran.

Hal serupa juga terjadi di Rokan Darussalam untuk memekarkan diri dari Kabupaten Rokan Hulu. Tidak ada aksi turun ke jalan, namun RUU pembentukan Kabupaten Rokan Darussalam disetujui DPR pada Januari 2008 lalu. Usulan RUU pembentukan Rokan Darussalam langsung mengiring ribuan warga Kabupaten Rokan Hulu turun ke jalan-jalan meneriakkan antipemekaran. Selain turun ke jalan, ribuan warga mengepung DPRD Rokan Hulu dan menuntut Ketua DPRD Rokan Hulu Teddy Mirza turun dari jabatannya karena diduga secara sepihak melayangkan surat rekomendasi kepada DPR RI tentang pembentukan Kabupaten Rokan Darussalam.

Tidak tanggung-tanggung, Bupati Kabupaten Rokan Hulu Achmad juga menolak wacana pemekaran dengan memerkarakan panitia pembentukan Rokan Darussalam ke Polda Riau karena diduga memanipulasi rekomendasi. Akhirnya, sama dengan hubungan Meranti-Mandau dan Pemkab Bengkalis tadi, hubungan yang tak harmonis pun mewarnai antara pemkab dan masyarakat pro pemekaran Rokan Darussalam.

Meranti, Mandau, dan Rokan Darussalam hanya dua contoh kecil kasus-kasus pemekaran wilayah di Riau yang ber-ekses pada potensi konflik. Selain konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat, konflik horizontal antara masyarakat pro dan kontra pemekaran pun bisa berpeluang terjadi, dan menimbulkan pertikaian massal. Jika itu terjadi, bukan mustahil letupan-letupan kecil itu akan menjadi letupan-letupan besar yang akan mengancam kedaulatan wilayah NKRI.

Menata Otonomi Daerah, Membangkitkan Nasionalisme Kebangsaan Menyikapi angin syurga Otonomi Daerah yang ada saat ini, mewajibkan adanya konsep yang tegas dalam mengelola Otda. Ini penting agar semua pihak memahami esensi dari berbagai produk otda, baik pemekaran wilayah maupun penggabungan wilayah. Mengelola Otonomi daerah harus diawali dengan kesamaan persepsi dalam memandang Otda itu sendiri. Otda bukan membuka kran semangat pelampiasan mengurus diri sendiri atau pesta memerdekakan diri yang akhirnya malah menambah menyengsarakan penduduk dengan makin mahalnya biaya hidup, tersendatnya hubungan dengan daerah lain. Otda harus dipahami sebagai upaya teknis yang berpeluang untuk memetakan secara jelas potensi penduduk dan wilayah serta menyinambungkannya dalam sebuah negara.

Secara eksplisit didalam UU otonomi daerah tahun 2004, memang telah dengan jelas diamanatkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah adalah media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Kedua, melalui otonomi daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. Ketiga, bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.

Maka, terlepas dari berbagai kepentingan dibalik usulan pemekaran wilayah, pemekaran daerah tentu harus mengacu kepada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran yang bertujuan meningkatkan taraf hidup dan pembangunan daerah setempat harus didukung. Namun demikian. pemerintah juga harus memperketat pemekaran karena banyak daerah yang dimekarkan, tapi gagal mempercepat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Selain memperketat aturan main diatas, pemerintah juga perlu mengevaluasi pemekaran wilayah yang sudah berjalan. Hal ini penting untuk melihat pemekaran yang bisa dikembangkan dan pemekaran yang harus didegradasi.

Selanjutnya, kriteria pemekaran mesti dirumuskan kembali secara detail guna menghindari pemekaran wilayah yang tidak selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pertimbangan menyeluruh melalui rangkaian kajian/penelitian secara sungguh-sungguh untuk melepaskan sebuah wilayah sebagai wilayah baru (hasil penggabungan, pemekaran, atau penghapusan) adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, dengan pertimbangan utama lebih terjaminnya kemaslahatan penduduk di masa depan.

Membangkitkan dan memupuk nasionalisme kebangsaan juga merupakan alternativ untuk menghindari diskursus tentang pemekaran wilayah. Sebagai sebuah isu yang bergulir di masyarakat, tentunya isu pemekaran sering mendatangkan berbagai pandangan di berbagai kalangan dan level masyarakat. Isu ini pun menjadi bola panas. Perdebatan-perdebatan panjang kemudian digelar. Namun tetap tak bertepi. Hal inilah yang kemudian memunculkan problema pro dan kontra di masyarakat. Sebetulnya, perbedaan pendapat ini amatlah lumrah, terutama dikaitkan dengan proses perkembangan demokrasi di tanah air. Akan tetapi perbedaan pendapat ini haruslah ditata, diformulasikan, sehingga tidak menimbulkan friksi dan ego, serta berakhir dengan suatu kebahagiaan bersama.***

Tulisan ini Juara 1 pada lomba penulisan Isu Strategis di Riau, yang diselenggarakan Badan Informasi Komunikasi dan Kesatuan Bangsa Provinsi Riau, April 2008
Share:

Monday, April 7, 2008

"Musim KB"




Entah mengapa, jelang-jelang musim Pemilihan Kepala Daerah, musim ber-KB pun tiba. Bukan oleh masyarakat, tapi oleh kandidat yang bakal maju pada pemilihan. Loh, apa hubungannya yah? Mungkin saja, si calon ber-KB agar saat pemilihan nanti ia tidak kerepotan mengurusi urusan sang istri yang melahirkan. Mungkin bisa juga, karena dengan ber-KB, sang kandidat akan merasa aman jika nanti setelah terpilih, kekayaannya tak terlalu banyak keluar untuk biaya anak banyak.

Tapi, tunggu dulu! Yang saya maksudkan disini bukan KB Keluarga Berencana, melainkan istilah Kontak Batin. Ya! Kontak batin antara sang kandidat dengan masyarakat pemilih.Menjelang pemilihan, dapat dipastikan 'kontak batin' antara calon pemimpin dengan masyarakat yang akan dipimpinnya terbilang tinggi. Buktinya, aksi 'turun gunung' sebagai wujud KB pun mendadak ramai dilakukan sang kandidat.

Biasanya, yang paling sering ber-KB adalah calon incumbent. Karena, dengan memanfaatkan posisinya, ia bisa memasang berbagai 'kontrasepsi KB' yang bersifat semu disetiap lawatannya. Makanya tak heran, disetiap Tour nya ke daerah-daerah, selalu judulnya "Tujuan ini", "dalam rangka itu" "kunjungan kerja ini dan itu". Padahal, ada tujuan politis didalamnya. Apalagi kalau bukan bersosialisasi dan mencari simpati masyarakat.


Untunglah, pemerintah cepat menanggapi ini. Untuk mengurangi pemakaian "azas manfaat" oleh sang calon yang sedang menjabat, Selasa (1/4) pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undangan (RUU) revisi terbatas Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Revisi terbatas ini didalamnya mewajibkan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin kembali mencalonkan diri (incumbent), mengundurkan diri dari jabatannya setelah dirinya mendaftar dan dinyatakan secara sah sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Lain lagi dengan Walikota Pekanbaru Herman Abdullah. Disaat sebagian warga Pekanbaru berdesak-desakan di tenda-tenda pengungsian korban banjir, ia malah berada di Jakarta selama lebih kurang dua minggu, mengikuti pendidikan Lemhanas di hotel mewah. Benarkah ia tidak merasakan kontak batin akan penderitaan yang sedang dirasakan masyarakatnya? Ah, tidak mungkin! Pasti ia merasakannya. Namun, patut dipertanyakan, kenapa baru setelah dua minggu warganya kesulitan menghadapi banjir, baru ia kembali ke Pekanbaru?
Share:

Sunday, March 30, 2008

"Salah Kubur"


Orang dikubur itu biasa. Tapi bagaimana kalau kayu dikubur? Lha, ini baru luar biasa. Kan kayu hidupnya biasa diluar, hanya akarnya yang didalam. Di Desa Gunung Sahilan Kabupaten Kampar, ditemukan ribuan tual kayu yang disembunyikan oknum pelaku Ilegall Logging dengan cara dikubur. Maksudnya mengubur, untuk menghilangkan jejak perbuatan sipelaku.
Nah, luar biasa bukan? Kayu yang biasanya hidup diluar, tapi malah dikubur di dalam tanah. Sementara akarnya (baca; oknum pelaku) malah enak-enakan diluar. Pasti ini salah kubur !
Mengapa? Ya, karena yang sepantasnya di kubur adalah pelakunya. Ia telah dengan sengaja menyembunyikan kayu ilegal yang sudah pasti asal-usul kayu tak jelas izin tebangnya, HPH-nya, dan ketidakjelasan lainnya. Tindakan itu jelas merugikan banyak pihak.
Terang saja. Di Desa Gunung Sahilan di waktu yang sama (Maret 2008) menjadi lokasi banjir terparah di Riau. Ribuan KK jadi kesusahan karena susah beraktivitas, termasuk mencari nafkah. Tidak hanya di desa itu saja, bahkan tercatat akibat banjir yang terjadi sepanjang Maret 2008 itu 48 Desa di Lima Kecamatan yang ada di Kabupaten Kampar, juga bernasib sama. Karet yang menjadi sumber penghasilan mereka, tak bisa di takik. Sekolah diliburkan. Sumber air bersih susah dicari. Beberapa warga terserang penyakit.
Menurut temuan aparat, kuburan kayu ditemukan di tiga titik. Titik pertama dan kedua terdapat di Air Panas Desa Gunung Sahilan. Sementara satu titik lagi berada di perbatasan Kuansing dan Kampar. Namun kuburan jadi-jadian itu dominan berada di Kuansing.
Masyarakat Kuansing pun tak luput dari bencana banjir ketika itu. Sebanyak 3674 KK di 57 Desa dan Sembilan Kecamatan, rumahnya tergenang air.
Penguburan kayu sudah pasti salah satu dari banyak motif kejahatan perambahan hutan secara liar (Ilegal Logging). Ada berbagai motif lain yang mungkin saja belum terendus oleh aparat.
Atas penemuan ini satu sisi kita boleh bangga karena kinerja aparat kepolisian dan pemerintah berhasil mengungkap satu persatu motif kejahatan Ilegal Loging di Riau. Ditemukannya motif penguburan kayu setidaknya membuktikan sudah semakin takutnya pelaku ilegal logging dalam melancarkan aksinya sehingga memaksa mereka untuk bertindak serapi mungkin menghilangkan jejak aksinya. Beda dengan sebelum gencar-gencarnya dilakukan sweeping oleh aparat ke hutan-hutan. Pelaku Ilegall Logging saat itu masih leluasa beraksi, seperti adanya modus kayu gelondongan yang diapungkan di atas air.
Sementara di sisi lain, masyarakat Riau harus waspada akan datangnya fenomena-fenomena alam yang tak diinginkan, sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tidak seimbangnya lagi alam hutan di Riau.
Kampar dan Kuansing adalah bagian kecil dari kasus Ilegall Logging yang tak pernah henti di negeri kaya minyak ini. Sampai kapan kasus ini terjadi, Wallaahu'alam.

(Ahad 31 Maret 2008)
Share:

Thursday, March 6, 2008

Optimalisasi Peran Tokoh Agama Strategi Menuju Riau Bermadani (Perspektif Pencapaian Pembangunan di Riau)



Sejak zaman kenabian hingga dimulai era baru peradaban, agama telah terbukti membawa pencerahan bagi kehidupan umat manusia, yang dimanifestasikan salah satunya oleh perjuangan dari para tokoh dan pemimpin agama. Diantara tokoh itu, salah satunya adalah Imam Khameini. Sebelum dan sesudah berhasil menumbangkan rezim Shah Iran di tahun 1979, beliau adalah seorang tokoh agama (ulama), mujtahid (pembaharu pemikiran), seorang yang patut diikuti, sekaligus seorang politisi yang dikagumi dan dihormati masyarakat Iran. Di berbagai pidato politiknya, Imam Khameini dengan tegas meminta agar Shah Iran mengundurkan diri dari jabatannya. Saat Shah Iran membuat kebijakan land-reform di tahun 1963, dengan tegas Imam Khameini melakukan gerakan perlawanan, meski akhirnya ia harus meninggalkan Iran menuju Turki (1964), Irak (1964-1978), dan Prancis sejak tahun 1978. Di ketiga negara itu, Imam Khameini meneruskan perjuangannya melawan rezim Shah Iran.
Begitu juga yang dilakukan teolog besar Gustavo Gutierrez dari Peru, atau uskup agung Oscar A Romero dari El Savador. Mereka adalah para tokoh agama yang juga memiliki andil melawan penindasan terstruktur di wilayahnya. Para tokoh agama itu semua memiliki kesadaran dan semangat keagamaan untuk melakukan perubahan, melawan struktur dan kultur yang hanya menguntungkan sekelompok kecil manusia, tapi merugikan dan menindas mayoritas.
Kesadaran dan semangat keagamaan ini pula yang mendasari pilihan seorang pastor dari Bolivia, Camilo Torres untuk bergabung dengan Ernesto Che Guevarra bergerilya melawan pemerintahan komprador, meski akhirnya ia harus tewas dalam sebuah pertempuran gerilya yang tidak seimbang. Bagi kelompok gereja, tindakan Torres tidak mendapat restu, tapi bagi kalangan tertindas dan anak muda di Amerika Latin, tindakan Torres patut ditiru.
Dari beberapa tokoh ini, memberikan gambaran bagi dunia bahwa nilai-nilai luhur yang termaktub dalam ajaran agama, memberikan jalan bagi gerakan perubahan dari nilai-nilai penyimpangan kepada nilai-nilai kebenaran. Gerakan ini tidak akan tercetus jika tidak diilhami oleh tokoh-tokoh agama, disamping dukungan kalangan pencetus perubahan lainnya.
Peran Penting Tokoh Agama Dalam Berbagai Persoalan Bangsa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dimana warga negaranya memeluk agama-agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Masyarakat majemuk yang dimiliki ini adalah masyarakat yang berdasarkan Pancasila dimana Negara menjamin kebebasan beragama. Dalam penghayatan dan pengamalan Pancasila, diutamakan juga masalah kerukunan hidup antar umat beragama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa dalam negara Pancasila, agama mempunyai tanggung jawab atas kelangsungan bangsa (spiritual, moral, etika) dan negara mempunyai tanggung jawab keagamaan, yaitu menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tidak boleh memasuki wilayah yang memang menjadi bagian (otonomi, otoritas) agama-agama.
Untuk itu dalam mengembangkan kehidupan beragama, sebagai anak-anak bangsa yang ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan kehidupan bernegara yang bersatu untuk menciptakan negara yang penuh dengan damai sejahtera, peranan pimpinan agama-agama sangat dibutuhkan dan mereka mampu menganalisa dan memberikan informasi yang tepat dan obyektif sehubungan dengan perkembangan zamannya.
Tokoh Agama, Sosok Kepemimpinan Informal
Tokoh agama merupakan satu sosok kepemimpinan informal yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Kehadirannya dalam ranah kehidupan masyarakat, tak hanya menjadi pelengkap perangkat social semata, namun juga berperan penting dalam mengatasi problem yang dialami masyarakatnya.
Dalam era reformasi sekarang ini, kecendrungan adanya gejolak social semakin sering muncul ke permukaan. Kita semua prihatin terhadap gejala ini, dan semua ini harus segera dicarikan solusinya agar gejala ini tidak berdampak lebih luas. Disinilah peran tokoh agama sangat diharapkan, guna menetralisir dan mengambil jalan tengah untuk setiap masalah social yang ada. Mengapa tokoh agama? Jawabnya adalah karena para tokoh agama, baik pikiran, ucapan, dan tindakannya merupakan panutan bagi agamanya.
Berangkat dari bahwa tokoh agama merupakan panutan bagi umatnya maka untuk optimalisasi peran tokoh agama dalam mengatasi kondisi dan masalah saat ini, sangat diperlukan perhatian pemerintah terhadap para tokoh agama, bagaimana ia mampu menyeimbangkan antara wawasan keagamaan dengan wawasan kebangsaan dalam memimpin umatnya. Selain itu, ia juga dapat membangun hubungan dengan tokoh formal (eksekutif, legislative) dan tokoh masyarakat, sehingga dapat mendorong ke arah keselamatan hidup bersama, tanpa diskriminatif di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Menyoal Pembangunan di Riau
Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama islam, tentu resiko adanya konflik agama sangatlah kecil. Namun hal ini bukan berarti kita harus melupakan peran agama dan keberadaannya ditengahtengah pembangunan yang dijalankan saat ini,. Justru agama semaki krusial perannya, ketika konsentrasi pembangunan yang dilakukan hanya dirasakan tertuju pada pembangunan fisik semata.
Apalagi saat ini Provinsi Riau sedang dalam masa mengejar target pembangunan yang harus dicapai sebelum 2020 mendatang. Target yang diinginkan yaitu menjadi pusat kebudayaan, ekonomi, dan perdagangan se Asia Tenggara. Sebuah cita-cita yang mulia. Namun cita-cita itu tidak akan tercapai tanpa ditopang oleh kondisi masyarakat yang agamis.
Sampai saat ini, kita memang sadari pertumbuhan pembangunan dan perbaikan perekonomian telah banyak dicapai. Tingkat pertumbuhan ekonomi sejak 2005 hingga pertengahan 2006 ini mampu melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu 5,4 %. Ini berkat dukungan atas bergairahnya berbagai sector riil yang menunjang kehidupan masyarakat. Sebut saja dibidang perdagangan, industri, perkebunan, perikanan, pertanian, dan juga sector pariwisata dan budaya, kesemuanya telah menasbihkan propinsi ini termasuk kedalam salah satu propinsi terkaya dan ber-PAD terbesa setelah propinsi Kalimantan Timur dan Papua. Tidak ada yang kurang sebenarnya. Ungkapan yang menyebut Riau sebagai miniaturnya Indonesia, adalah ungkapan yang wajar dan tak berlebihan.
Namun dibalik kemajuan itu, kita justru tidak merasakan adanya kemajuan taraf hidup dan kualitas kehidupan masyarakat Riau secara nyata. Potret wajah kemiskinan dan kebodohan semakin tampak jelas kepermukaan melalui berbagai realita yang terjadi saat ini. Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (kimpraswil) Riau menyebutkan, hingga tahun 2005 terdapat sedikitnya 29.590 kepala keluarga yang tersebar di Riau belum memiliki rumah tempat tinggal. Meski sudah berkeluarga atau beranak, mereka masih tinggal dirumah orang tua, kakak atau sanak famili lainnya. Bahkan tidak sedikit pula mereka yang menyewa atau mengontrak rumah.
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Propinsi Riau juga pernah menelurkan hasil surveinya. Hingga akhir 2005, menurut badan ini, terdapat sebanyak 22,19 % dari 4,5 juta jiwa penduduk Riau terkategorikan miskin. Dalam sebuah survey yang lain juga menyebutkan, dari sekian banyak penduduk pada kelompok umur produktif yang ada, 60% diantaranya hanya menamatkan pendidikan dasar (SD).
Dampak turunan kemiskinan diatas, sebut saja salah satunya dialami Jumiati, bocah berusia Lima tahun yang setelah dirawat beberapa minggu di RSUD Arifin Ahmad karena derita gizi buruk yang dialaminya. Ia harus menghembuskan nafas terakhirnya beberapa Minggu lalu dirumah sakit itu, tepatnya ditengah-tengah negeri yang katanya kaya ini. Kontras sekali.
Moral masyarakat juga dirasakan semakin terus menurun, dengan semakin banyak terjadinya kasus kejahatan dimana-mana. Tidak saja pelakunya orang dewasa, namun generasi muda pun ikut menjadi actor utama kejahatan dalam berbagai tindak kekerasan. Pelanggaran etika, norma, dan berbagai aturan kehidupan sudah bukan hal baru lagi, terus menerus terjadi. Di pihak lain, pencegahan hanya dilakukan sebatas pemberian sanksi, tanpa banyak evaluasi dan koreksi diri mengapa semua itu berlaku hari ke hari.
Timbulnya fenomena ini, selain berpangkal dari permasalahan ekonomi, sebenarnya diikuti juga oleh kondisi rendahnya pendidikan formal dan agama pada masyarakat. Ibarat mata rantai, kesemuanya saling terkait satu sama lain, dan memerlukan porsi yang sama dalam pemenuhannya.
Di tengah keprihatinan yang seperti ini, perhatian pemerintah hendaknya tidak lagi mengejar ketertinggalan secara fisik semata. Yang menjadi dasar prioritas pembangunan daerah adalah pembangunan manusianya, terutama dari segi pendidikan formal dan agamanya. Tanpa manusia-manusia terampil, teruji, terdidik, dan terbina secara mental dan spiritual, niscaya pembangunan hanya semu belaka.
Mungkin kita perlu mencontoh apa yang akan dilakukan pemerintah Propinsi Sumatera Barat di tahun 2007 mendatang. Mulai tahun itu, pengamalan ajaran agama, adat dan budaya serta pemberantasan perbuatan maksiat berada pada posisi pertama dari delapan prioritas utama pembangunan disana. Penempatan sebagai nomor satu prioritas utama pembangunan ini karena banyak pihak di Sumbar sepakat bahwa telah terjadi pergeseran yang cukup besar dalam pengamalan ajaran agama, adapt dan budaya serta pemberantasan perbuatan maksiat di tengah masyarakat Sumbar.
Hal ini bisa saja kita terapkan disini, namun tidak harus dalam model yang sama. Lewat pengentasan kemiskinan, kebodohan dan perbaikan infrastruktur (K2I) yang menjadi pokok pencapaian pembangunan yang dicetuskan Gubernur Riau HM Rusli Zainal saat ini, setidaknya hal yang sama dapat diseiringkan dan disejalankan. Satu harapan yang diinginkan, yaitu bagaimana terciptanya suatu masyarakat yang sejahtera, memiliki kualitas sumberdaya manusia yang bersaing dan berakhlak mulia, serta didukung oleh kemajuan infrastruktur.
Mengoptimalkan Keterlibatan Tokoh Agama
Berpijak kepada realitas kondisi kekinian masyarakat Riau, sebenarnya potensi besar telah kita miliki untuk bersama-sama meraih keberhasilan dalam mengembangkan propinsi ini menjadi propinsi yang maju. Selain ketersediaan potensi sumberdaya alam yang melimpah, propinsi ini juga memiliki dasar budaya yang masih kuat dalam kultur kehidupan masyarakatnya. Hal ini kiranya menjadi modal yang besar dalam membangun masyarakat yang berbudi pekerti, bila saja kultur melayu tersebut mampu dijaga dan dipelihara sebaik mungkin.
Alternatif untuk keluar dari lembah kemerosotan saat ini, adalah dengan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan kepada seluruh masyarakat. Disini, tokoh dan pemimpin agama memiliki otoritas yang sangat besar untuk melakukannya. Seperti yang elah disebutkan diatas, otoritas ini diperolehnya karena apa-apa yang dicerminkan olehnya, baik pikiran, ucapan dan tindakannya merupakan panutan bagi umatnya.
Melalui para pemimpin / tokoh agama, paling tidak kita masih memiliki harapan dan tumpuan, dalam mentransformasikan nilai-nilai agama kedalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, peran ini mampu disejajarkan pula dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan agama dan budaya yang diharapkan mampu memberikan respon atas kemerosotan nilai-nilai kehidupan secara moral, etika dan spiritual.
Belum sesuainya moralitas dan perilaku social dengan nilai-nilai ajaran agama, budi pekerti luhur, serta norma yang berlaku di masyarakat adalah tantangan utama pembangunan bidang agama. Walaupun secara struktural berkebangsaan hal itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengatasinya, dalam realisasinya dilapangan, tokoh dan pemimpin agama adalah juru kuncinya.
Demikian pula dalam rangka menuntaskan berbagai persoalan pendidikan, kemiskinan, dan infratrukstur saat ini, pemberdayaan para tokoh agama dalam usaha memberi stimulus kepada masyarakat akan pentingnya tiga agenda pembangunan itu juga perlu dilakukan. Tokoh agama merupakan simpul dari berbagai kumpulan masyarakat. Merangkul tokoh agama demi mendukung program pembangunan, berarti merangkul lebih banyak masyarakat untuk terlibat langsung dalam pembangunan.
Setidaknya, ada beberapa garis besar pokok-pokok konsentrasi pemerintah membantu optimalisasi peran tokoh agama dalam membentuk masyaraat madani, antara lain : pertama, memberikan ruang apresiasi bagi tokoh-tokoh agama untuk ikut ambil bagian menentukan kebijakan pembangunan. Bentuk keterlibatan ini dapat juga diberikan secara langsung melalui duduknya tokoh agama dalam berbagai jabatan pemerintahan. Pandangan yang mengatakan bahwa tokoh agama tidak seharusnya terlibat dalam kancah politik, adalah pandangan yang sempit. Justru saat ini perlu di dorong keikutsertaan tokoh-tokoh agama memberi pencerahan kehidupan berpolitik dan berpemerintahan bangsa ini.
Jika tokoh-tokoh agama menyerukan pemberantasan korupsi, misalnya, sementara di semua structural sedemikian korup, bahkan di lingkungan departemen keagamaan juga korup, apakah seruan moral itu bisa berhasil? Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran, meski resikonya ia harus kena pecat dari jabatannya.
Kedua, memberdayakan partisipasi lembaga-lembaga keagamaan, sebagai tempat berhimpunnya tokoh dan pemimpin agama. Lembaga yang ada misalnya MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, MATAKIN, dan sebagainya harus terus di mediasi dalam menciptakan komunikasi dan kerukunan umat beragama.
Yang terpenting, pemerintah tetap menjalankan fungsinya secara proporsional, diutamakan dalam hal memfasilitasi segala kebutuhan pembangunan yang dibutuhkan. Jika memang pembangunan diprioritaskan dari sisi agama, pemerintah mau tak mau harus menunjukkan itikad baiknya ke arah itu, apakah itu dalam bentuk pemenuhan kebutuhan layanan dibidang agama maupun dibidang yang lain. Pemerintah perannya tidak akan masuk kedalam substansi agama, namun lebih berperan sebagai fasilitator, mediator, dan stimulator. Substansi agama, sepenuhnya akan diserahkan kepada setiap warga negara, dan warga negara akan mengembalikannya lagi kepada para pemimpin agamanya. Semoga, dengan berlandaskan agama dan ditopang oleh peran serta tokoh agama, dapat membentuk masyarakat madani, bagian pencapaian pembangunan di provinsi ini. ***
Share:

Monday, January 28, 2008

Membangun Optimisme Masa Depan Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Kemajuan suatu daerah tak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin daerah tersebut. Daerah yang kaya, tanpa memiliki pemimpin yang pandai dalam mengelola potensi kekayaan tersebut, bisa-bisa menjadi daerah miskin dengan segala himpitan permasalahan yang diakibatkan oleh kurangnya kepiawaian pemimpin daerah tersebut . Daerah yang miskin, apabila dipimpin oleh yang pandai dan cakap dalam membangun daerah, sebaliknya malah bisa berpeluang menjadi daerah yang maju.

Mengatur dan memimpin suatu daerah, memang bukan perkara yang mudah. Apalagi, ditengah kondisi multidimensi krisis yang melanda di seluruh sendi kehidupan bangsa saat ini. Instabilitas perpolitikan baik nasional maupun lokal misalnya, kerap menjadi persoalan berat dalam usaha memajukan daerah. Belum lagi, adanya regulasi kebijakan yang kerap disinterpretasi, intervensi pusat ke daerah, dan berbagai persoalan lain baik yang datang dari luar maupun dalam daerah, membuat hampir semua catatan sejarah kepemimpinan yang dialami bangsa ini memiliki banyak kekurangan.

Kenyataan juga menunjukkan, dalam panggung politik sejarah modern Indonesia, tampaknya belum ada kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berpikir demokrasi dalam waktu yang berkesinambungan. Sebab, selalu saja pemimpin di Indonesia berstandar pada pragmatisme kekuasaan ketimbang kedaulatan rakyat itu sendiri.

Kompleksnya masalah itu, mau tidak mau memaksa sistem pergantian pemimpin di negeri ini kerap berganti-ganti. Setelah rezim otoritarian yang menerapkan pola sentralistik selama 32 tahun tumbang, demokrasi saat ini masih jalan tertatih-tatih. Sistem Pemilihan langsung yang dimulai 2004 lalu, walaupun belakangan disebut sebagai pemilihan paling demokratis bangsa ini, sekarang malah dihadang oleh adanya wacana penunjukan langsung pada level kepala daerah. Terlepas dari positif negatifnya, dinamika demokrasi tersebut semakin menegaskan vitalnya persoalan kepemimpinan.

Belajar Dari Masa Lalu

Provinsi Riau, sejak dibentuk pada tahun 1957 hingga sekarang, masih mencari sosok pemimpin yang minimal mendekati ideal dan menjadi harapan masyarakatnya. Ini karena selama 50 tahun usia provinsi ini, walaupun terdapat banyak kemajuan yang telah dicapai, masih selalu didera oleh berbagai permasalahan.

Satu sisi, tak dapat dipungkiri, masa kepemimpinan yang dijalani oleh tiap-tiap Gubernur memiliki kondisi yang berbeda-beda. Saat Mr. S.M. Amin menjabat sebagai Gubernur pertama KDH Provinsi Riau yang dilantik 5 Maret 1958 di Tanjungpinang, Riau berada ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.

Begitu juga pada masa Letkol Kaharuddin Nasution menggantikan Mr SM Amin sebagai Gubernur, juga masih menghadapi kondisi yang tidak stabil. Bergantinya pemimpin menyebabkan struktur Pemerintahan Daerah saat itu dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Apalagi, disaat yang sama proses administrativ pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, bukan masalah yang mudah untuk diselesaikan.

Habis masa jabatan Kaharuddin Nasution, Mendagri selanjutnya menunjuk H Arifin Ahmad pada tahun 1966 sampai 1978. Periode Arifin Ahmad ini beberapa kemajuan telah nampak. Meskipun pembangunan tersebut belum menyentuh langsung kepada masyarakat kecil. Hal ini tetap berlanjut pada beberapa masa kepemimpinan dipegang oleh HR Subrantas , H Prapto Prayitno, Imam Munandar, H Baharuddin Yusuf, Atar Sibero, dan H Soeripto. Adanya intervensi pemerintah pusat pada masa-masa tersebut, membuat pola kepemimpinan berlangsung kaku tanpa adanya perubahan mendasar.

Barulah pada saat bergolaknya era reformasi pada medio 1998, membuka peluang Gubernur Riau berasal dari Putra Riau sendiri. Karena sepanjang keberadaan Provinsi Riau, belum pernah ada putra daerah yang menjadi Gubernur. Sejarah itu dicatat oleh H Saleh Djasit yang menjabat Gubri dari periode 1998-2003. Banyak juga perubahan pembangunan yang terjadi saat Saleh memimpin pemerintahan saat itu. Namun, ditengah-tengah konsentrasi pembangunan lagi fokus-fokusnya dilakukan, sayang, Saleh harus mundur di akhir periode pertama kepemimpinannya, karena kekalahan politiknya pada suksesi 2003. Ia kemudian digantikan oleh HM Rusli Zainal SE MP, yang menjabat hingga 2008 mendatang.

Kepemimpinan Era Rusli Zainal, cukup membawa kemajuan yang sangat signifikan dalam berbagai bidang. Ini sebenarnya tak lepas dari dampak perubahan pola pembangunan yang beralih dari sentralistik ke otonomi daerah yang digulirkan dua tahun sebelum kepemimpinan Rusli. Namun sayangnya, kesempatan emas bagi daerah untuk berapresiasi dalam membangun negerinya tersebut, belum diimplementasi secara baik oleh daerah, juga di Riau. Yang muncul belakangan malah adanya istilah “raja-raja kecil”, korupsi menjadi-jadi, rakyat semakin miskin, kesejahteraan rakyat semakin tak terjamin.

Nah, dari sederet catatan kepemimpinan yang telah dipapar diatas, menunjukkan bahwa se-ideal mungkin sosok pemimpin, tak akan lepas dari berbagai tantangan berat dan kekurangan disana-sini. Hanya saja, yang menjadi catatan, kita perlu belajar untuk menentukan pilihan pemimpin yang terbaik bagi negeri ini, dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap kepemimpinan yang dijalankan.

Memahami Kondisi Riau Sebagai Modal Memilih Pemimpin

Sebelum membicarakan masalah kepemimpinan Riau kedepan, perlu kiranya disinggung kembali tentang kondisi riil yang dialami Riau saat ini. Hal ini penting guna menjadi acuan dalam proses menentukan siapa dan bagaimana sosok pemimpin yang dibutuhkan daerah ini.

Dalam perjalanan 50 tahun provinsi Riau, tak dapat dipungkiri banyak catatan menggembirakan yang telah dicapai. Pertumbuhan ekonomi Riau (tanpa migas, 2006 sampai Maret 2007) berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2007 mencapai 8,66 persen. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional, 6,09 persen. Pertumbuhan itu mendorong turunnya angka pengangguran terbuka menjadi 10,53 persen dari sebelumnya 11,10 persen. Pertumbuhan perekonomian Riau itu tidak hanya tertinggi untuk tingkat nasional, tapi juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan Singapura. Pada tahun yang sama pertumbuhan perekonomian negara tetangga itu hanya sekitar 7 persen.

Dalam tahun 2006, Riau menduduki peringkat ketiga dalam Penanaman Modal Dalam Negeri dan untuk Penanaman Modal Asing (PMA) urutan kedua. Bahkan sebelumnya di tahun 2005 Riau menempati peringkat pertama, dan dalam 2006 ini secara keseluruhan peningkatan lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu.
Dalam hal tenaga kerja, secara umum Riau juga mengalami pengurangan yang signifikan dalam hal pengangguran. Hal ini juga terkait dengan tingginya investasi dan usaha yang ada di Riau dengan implikasi akan mudahnya lapangan kerja di daerah ini.
Dalam hal kependudukan, Riau saat ini memiliki penduduk sebanyak 4 juta jiwa, lebih sedikit dari Singapura yang mencapai 4,5 juta jiwa. Namun dari segi pertumbuhan penduduk, Riau juga lebih besar yakni 3,4 persen dibanding Singapura yang hanya 1,2 persen.

Dibalik pesatnya pertumbuhan selalu ada ironi. Banyak persoalan harus dibenahi. Sebut saja soal kemiskinan. Ditengah melimpahnya APBD yang dicapai khususnya di tahun 2007 ini, Riau masih mengoleksi kantong-kantong kemiskinan yang tersebar di beberapa penjuru kabupaten yang ada. Tiga kabupaten (Kuantan Sengingi, Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir) saat ini masih dikategorikan sebagai daerah tertinggal. Tahun 2005, jumlah rakyat miskin mencapai 600.400 jiwa dan tahun 2006 hingga Maret 2007 masih 574.500 jiwa. (11,20 persen).

Kesenjangan sosial masyarakat tetap dominant terlihat. Ini terbukti dari persentase penduduk miskin di Riau sebagian besar berada di daerah perdesaan (12,90 persen), sedang di perkotaan ada sebesar 9,53 persen. Badan Ketahanan Pangan Provinsi Riau baru-baru ini bahkan menegaskan, di Riau terdapat 663 desa yang masih pada kategori rawan pangan.

Dari 4,5 juta rakyat Riau, 54 persen di antaranya (usia di atas 10 tahun) hanya berpendidikan SD dan sebagian lagi tidak tamat SD. Riau juga masih memiliki beberapa suku terasing yang benar-benar teralienasi dari proses pembangunan. Sebut saja suku Sakai yang hidup di tengah kekayaan ladang minyak Duri, yang dikelola PT Caltex (sekarang PT Chevron). Juga suku Talang Mamak di kawasan Sungai Enok, Indragiri Hulu.

Tidak dipungkiri, sektor perkebunan dan kehutanan merupakan tulang punggung Riau membangun perekonomiannya. Namun, dampak negatif pemberian izin perkebunan atau hutan tanaman industri membuat daftar masalah makin panjang. Dari data Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, setidaknya ada 320 titik konflik antara masyarakat dan perusahaan kayu atau perkebunan di Riau. Laju kerusakan hutan di Riau, menurut LSM pemerhati kehutanan, mencapai 160.000 ha per tahun. Buruknya kondisi hutan itu belum terjawab. Beberapa kepala daerah justru berancang- ancang mengubah lahan kosong di atas hutan lindung untuk perkebunan atau HTI demi mengejar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Fakta-fakta lain masih banyak lagi jika hendak disebutkan satu persatu. Namun, bukan sekedar data yang dibutuhkan saat ini, melainkan bagaimana fakta konkrit tersebut menjadi pemecut seluruh komponen masyarakat daerah ini untuk merasa bertanggung jawab dalam menentukan masa depan Riau yang lebih cemerlang di masa mendatang. Terutama lagi, ketika kita dihadapkan pada proses pergantian pemimpin yang akan digelar pada 2008. Setidaknya, kondisi Riau terkini itu bisa menjadi modal bersama untuk menentukan pemimpin yang benar-benar memahami persoalan sekaligus mencari jalan keluar terhadap persoalan tersebut.

Membangun Optimisme Kepemimpinan Riau Pasca Pilkada 2008

Ditengah persoalan yang masih mendera Riau sampai sekarang, muncul harapan besar ketika 2008 mendatang suksesi pemimpin daerah ini akan dipilih langsung oleh rakyat. Sistem pemilihan itu bagi Riau merupakan yang pertama kali akan dilakukan, dan sejarah kepemimpinan di Riau kelak akan mencatatnya, entah dengan tinta emas atau tinta hitam.

Yang pasti, kita semua berharap melalui Pilkada langsung itu, Riau nantinya dapat berubah lebih baik dibandingkan kondisi yang terjadi saat ini. Tidak mudah memang, karena untuk mendapatkan seorang pemimpin yang mampu membawa Riau ke arah sana, akan melewati banyak halangan.

Perlu digaris bawahi bahwa proses Pilkada yang diharapkan mampu berjalan dengan baik saat ini masih dihantui oleh banyaknya kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang akan terjadi, baik sebelum, saat, maupun setelah pemilihan dilangsungkan. Ketakutan ini cukup beralasan, mengingat banyak pihak masih menyangsikan kedewasaan berpolitik dari elit-elit politik maupun kelembagaan politik akhir-akhir ini.

Selain itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adakah calon-calon pemimpin yang bertarung pada Pilkada mendatang, memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab) yang teruji dihadapan masyarakat.

Kendati demikian, untuk sebuah masyarakat yang menginginkan perubahan fundamental kedepan, ketakutan-ketakutan diatas harus segera ditepis. Caranya, mari kita bangun optimisme di setiap diri kita, untuk menatap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilgubri 2008 mendatang akan lebih baik dari sekarang. Kita haru mampu berupaya membangun wacana “Demokratisasi” untuk bisa memberikan pendidikan politik (civil education ) kepada masyarakat, agar mereka bisa menentukan pilihan sesuai hati nuraninya masing-masing dalam memilih calon pemimpinnya.

Jika memang kecurangan-kecurangan politik tak dapat dihindari saat Pilgubri nanti, mulai dari sekarang perlu disosialisasikan usaha-usaha untuk menciptakan Pilgubri damai. Salah satunya mungkin bisa dilakukan dengan cara menyepakati kontrak politik dengan calon Kepala daerah, agar bisa mengendalikan dan mengkondisikan simpatisan dan konstituennya, selama proses Pilkada berlangsung.

Sedangkan untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab), bisa dilakukan dengan cara mengajak para calon untuk menyusun program kerja kepemimpinannya, sehingga masyarakat bisa mengetahui kemampuan masing-masing calon untuk merumuskan program yang diusung.

Akhirnya, kita semua berharap dengan bekal optimisme terhadap masa depan kepemimpinan Riau pasca Pilkada 2008 mendatang, merupakan potensi besar menuju perubahan fundamental Riau kedepan. Semoga!! (Tulisan ini diikutkan pada lomba karya Tulis Piala Raja Muhammad Yunus, Yang diselenggarakan oleh Persatua Insan Pers Riau Desember 2007. Alhamdulillah, mendapat Juara 2 )




Share:

Menjawab Persoalan Kepemudaan

(Sumbang Saran Untuk Kepemimpinan KNPI Riau Kedepan)

Dalam penyelenggaraan Musyawarah Daerah (Musda) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau 25-28 Januari lalu, telah terpilih seorang nakhoda baru yang akan membawa KNPI Empat tahun kedepan. Lebih tepat, jika kita haturkan rasa salut akan tekad, keberanian, pengorbanan, dan kemauan yang begitu serius dari sang nakhoda untuk membawa beban berat krisis kepemudaan Riau saat ini.

Siapapun dia sang nakhoda, keberhasilan menjadi pemimpin organisasi tertinggi dibidang kepemudaan itu, hendaknya jangan dirayakan dengan suka cita yang berlebihan. Ini bukan keberhasilan mendapatkan peluang meraup kekayaan, juga bukan keberhasilan mendapatkan kekuasaan. Ini merupakan keberhasilan pembuktian kesungguhan secara tulus untuk membawa biduk KNPI menuju yang lebih baik lagi untuk Empat tahun kedepan. Dan, ini juga merupakan keberhasilan mendapatkan peluang untuk menunjukkan bahwa ditampuk kepemimpinan anda-lah, peran dan fungsi pemuda akan lebih banyak memberikan kontribusi dan jawaban terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan, ke-Riau-an, dan lebih luas lagi, juga persoalan-persoalan kebangsaan.

Bisa dimaklumi jika dalam sepekan dua pekan kedepan, konsentrasi kepemimpinan yang ada masih belum terhimpun secara total mengurusi langsung urusan keadministrasian, kesekretariatan, dan termasuk hal terpenting menjabarkan satu persatu program–program kerja kedepan, sebagai manifestasi menjawab persoalan terkini kepemudaan. Namun setidaknya, ada sedikit perhatian langsung ke arah sana, minimal untuk tetap meneruskan semangat yang sempat berkobar saat-saat masa pemilihan.

Perasaan subyektif ini sebenarnya tak ingin penulis ungkapkan disini, karena penulis dan termasuk juga seluruh komponen masyarakat --tak hanya pemuda-- mesti menyadari bahwa tanggung jawab mengemban misi kepemudaan adalah tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab ketua dan pengurus KNPI saja. Tetapi, hal yang juga patut digaris bawahi disini bahwa sosok pemimpin harus mampu menjadi pelopor, inisiator, pemicu, sekaligus penyemangat dalam menggerakkan seluruh potensi yang berada dibawah kendalinya. Karena itulah, tak bisa dihindari, ketika berbicara tentang sebuah persoalan komplek, perlu proses analisa reduksi yang akhirnya membawa kepada hal-hal yang berlingkup kecil/sempit, termasuk unsur subyektivitas tadi. ***

Bekal kepemimpinan terbaik yang harus dimiliki seorang pemimpin sebelum memulai kerja keras kedepan, bagian kecilnya adalah Niat / Nawaitu. Banyak orang bilang, jika niat seseorang baik, maka hasilnya pun akan baik. Begitu sebaliknya. Namun, kembali kepada persoalan Subyektif lagi. Niat seseorang siapa yang tahu, karena niat lebih merupakan perkataan hati yang paling dalam dari diri seseorang. Kadang ia bisa dengan tulus diucapkan, bahkan kadang ia bisa menjadi samar. Bak kata pepatah “Didalam laut boleh diduga, dalam hati siapa tahu”, sulit menduga pikiran dan hati seseorang. Kendati demikian, kita semua tak ingin menaruh prasangka buruk akan niat sang Ketua terpilih untuk membawa biduk KNPI ini kemana. Satu niatan bersama yang harus diusung secara bersama pula, yakni bagaimana KNPI kedepan dapat menjadi gerbong lokomotif terdepan yang membawa dan mengarahkan semua potensi kekuatan didalamnya kepada nilai-nilai kemaslahatan kehidupan masyarakat.

Bekal terbaik kedua dalam membawa biduk KNPI, yakni memahami persoalan-persoalan kepemudaan, dan memahami bagaimana menjawabnya. Dalam kenyataan yang ada, begitu banyak persoalan kepemudaan yang hingga hari ini belum terjawab yang dampaknya memang tak bisa langsung dirasakan sekarang. Persoalan-persoalan krusial, jika ingin disebutkan, salah satunya adalah kualitas mental dan akhlak pemuda, merupakan garansi terhadap kelangsungan kehidupan di beberapa masa kemudian.

Berbicara kualitas mental, akhlak pemuda, sedikit banyak akan memasuki ranah pribadi seseorang, dalam hal ini individu pemuda itu sendiri. Bagaimana pendidikannya, hingga sejauhmana usahanya membina secara mandiri akhlak dirinya. Namun demikian, setiap manusia (pemuda) memiliki hak pula untuk mendapatkan pendidikan, yang dalam hal ini dituntut peran serta pemerintah dalam menciptakan kemudahan masyarakat mengakses pendidikan. Yang pasti, tanggung jawab membentuk manusia atau pemuda yang berkualitas, terletak pada semua pihak terkait didalamnya, termasuk kaum muda itu sendiri.

KNPI sebagai wadah berhimpunnya kaum muda merupakan bagian penting dalam usaha membentuk kader-kader pemuda yang berkualitas, baik secara intelegensi, maupun emosional. Karena, organisasi yang berdiri sejak tahun 1973 ini

Ketika hari ini masih dirasakan belum berhasilnya penciptaan pemuda yang berkualitas itu tadi, tak sepenuhnya pula ini adalah imbas gagalnya fungsi dan peran KNPI mengelola dan mengatur sebaik mungkin potensi kepemudaan yang ada. Banyak faktor lain yang juga ikut menentukan hal itu. Satu hal yang bisa disebut adalah kondisi kritis yang diciptakan sendiri oleh kaum muda itu sendiri.

Pertama, secara kasat mata, saat ini tak terlihat lagi gerakan kaum muda mewarnai proses pembangunan secara tulus. Amat banyak kepentingan memboncenginya. Ini akibat kaum muda secara sengaja telah melibatkan diri kedalam ruang-ruang kepentingan. Mari kita sadari ini, dan mari kita kilas balik perjuangan kaum muda dalam beberapa periodesasi kebelakang. Beberapa periode kebangkitan kaum muda, mulai dari 1928, 1945, 1966, 1998, merupakan kebangkitan sungguh-sungguh yang disumbui oleh kepentingan memihak yang lemah.Bahkan, beberapa diantaranya dilakukan secara heroik, merelakan nyawa sekalipun.

Kaum muda saat ini, merasa lebih elegan tampil dengan banyak atribut kelembagaan, baik nama, kostum, kebesaran para pendahulu dan berbagai konsepsi-konsepsi teknis semu didalamnya. Dengan berbagai atribut itulah, ia merasa bisa eksis, dan dianggap terus ada. Parahnya, tak sedikit yang menggunakan atribut keorganisasian tersebut, sebagai alat untuk mencari keuntungan sekelompok orang yang berhimpun didalamnya.

Sebuah gerbong kaum muda, jika memang gerakan tulus, mengapa harus berlindung dibalik sebuah partai, institusi, dan sebagainya. Sedikit banyak, kooptasi kepentingan partai tak bisa dihindari akan selalu mewarnai gerak dan perjalanan kaum muda yang dikadernya.

Melihat daftar peserta Musda KNPI kemarin, terdapat sekitar 80 hingga 90-an organisasi kepemudaan (OKP) yang secara resmi dinaungi KNPI Riau. Dari sekian banyak OKP tersebut, mungkin tak banyak diantaranya yang memiliki history organisasi yang mampu menjadi spirit keberlangsungan organisasi tersebut. Bahkan mungkin juga, dari sejumlah OKP tersebut tak banyak nama yang mungkin dikenal oleh publik secara luas. Ini karena, publik memang tak merasakan kontribusi langsung mupun tak langsung, atas keberadaan berbagai OKP tersebut. Jikapun ada, masih diragukan kontribusi yang diberikan tanpa mengharap apa-apa.

Penting menjadi catatan bagi KNPI kedepan, bahwa perlu perombakan sistematis dan bila perlu dilakukan secara total, terhadap mekanisme penghimpunan dan pengelolaan potensi kepemudaan. KNPI sebagai wadah berhimpun organisasi kepemudaan, kiranya harus mampu menata ulang kembali konsep membangun dan mengelola potensi kepemudaan saat ini. Jika tidak, kondisi organisasi kepemudaan tak akan pernah mampu mencatat prestasi tersendiri.

Terhadap keberadaan OKP-OKP yang sudah ada, hendaknya dibebankan sebuah tanggung jawab bersama dan tanggung jawab khusus sesuai dengan identitas, fokus, dan warna organisasi. Yang terpenting, bagaimana menitipkan agenda-agenda keummatan menjadi satu bagian pencapaian organisasi. Secara teknis, untuk mempertanggungjawabkan beban tersebut, tak ada salahnya jika dibuat aturan-aturan yang disepakati bersama, yang mengatur tentang sanksi ataupun kompensasi atas keberhasilan/kegagalan menjalankan tanggung jawab tadi.

Masih dalam tataran abstraksi persoalan kepemudaan, perlu disadari bahwa kontribusi kaum muda saat ini dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat masih dalam fase kemandulan. Jika ditelusuri penyebabnya ini akan membawa kita kembali mendefinisi apa itu kaum muda, dan apa saja perannya.

Jiwa kepemudaan yang sebenarnya adalah terdapat pada pemuda-pemuda yang belum terkontaminasi oleh kepentingan, jauh dari akses kekuasaan, dan alergi terhadap nilai-nilai kemapanan. Boleh suka atau tidak, namun ketiga karakter itulah yang malah banyak melenakan kaum muda saat ini. Kekuasaan, kepentingan, dan nilai-nilai yang mapan semakin menjadi buruan, bahkan realitasnya dilapangan begitu tanpa malu dipertunjukkan.

Terlalu munafik kiranya jika harus mengatakan posisi Ketua KNPI bukanlah sebuah batu loncatan, atau bukanlah sebuah posisi tanpa bias apapun bagi karir dan kejayaan seseorang. Mengapa? Karena memang harus diakui, jabatan tertinggi di struktur organisasi sekelas KNPI, merupakan jabatan strategis yang dapat menunjang perjalanan karir seseorang selanjutnya. Jabatan itu, setidaknya menjadi tolak ukur kualitas seseorang, terutama dalam hal kemampuan kepemimpinan.

Yang patut dikhawatirkan dalam hal ini, ketika jabatan strategis ini digunakan untuk mempermudah akses-akses mendapatkan kekuasaan, mendapatkan proyek, dan sejumlah kepentingan lain yang menguntungkan sedikit orang saja. Tugas dan tanggungjawab yang seharusnya dijalankan, akhirnya berjalan pada tataran legalitas formal dan seremonial saja. Bahkan hal terburuk sekalipun, dapat terjadi yang akhirnya menenggelamkan biduk kepemudaan di lautan kebutuhan masyarakat yang terus meriak.

Menjawab sedikit persoalan kaum muda yang telah dipapar diatas, ada beberapa hal yang dapat diprioritaskan. Pertama, perlu kesadaran kolektiv dan responsibility kaum muda akan tanggung jawab besar memikul agenda sosial dan moral, memperjuangkan nasib kaum lemah. Peran penyadaran ini, mungkin bisa diambil alih oleh KNPI secara langsung.

Kedua, untuk bebas dari berbagai tekanan, desakan, baik yang datang dari individu pemuda sendiri maupun dari kepentingan pihak lain, kaum muda hendaknya membangun kekuatan mendasar untuk menopang perjuangan. Jika memang terdapat agenda-agenda kebutuhan ekonomi, finansial organisasi, dan hal-hal lain yang mengharuskan adanya take and give dengan pihak lain, seminimal mungkin dilakukan sebatas kebutuhan yang diperlukan. Diakui, memang susah untuk melepaskan diri dari interaksi yang telah dijalin baik dengan pihak lain, terutama pemerintah. Namun, hal ini tergantung kepada kesadaran kolektif tadi, jika benar-benar dimaknai dengan totalitas, dengan sendirinya akan memagari idealisme agar tidak terkontaminasi.

Hal lain yang mungkin bisa diperankan oleh KNPI kedepan untuk membangun kaum muda yang produktif adalah memberdayakan potensi kaum muda itu sendiri. Perlu diingat, dalam usaha pemberdayaan ini, jangan ada kooptasi aturan yang nantinya mengekang kaum muda untuk ikut berapresiasi, khususnya bagi kaum muda potensial yang secara kebetulan masih termarjinalisasi secara akses sosial dan keorganisasian. Rangkul semua potensi kaum muda, mulai dari kota hingga ke pelosok desa. Saatnya gerakan kaum muda saat ini untuk tampil pada tataran nyata, yakni aktif, responsiv, dan produktif.*** *Dodita (Peminat Masalah Kepemudaan, saat ini aktif di Forum Lingkar Pena dan Forum Kajian Lintas Sektoral –FK-Literal)

Share: