Thursday, April 17, 2008

"Berspekulasi di Garis Offside"


Suka nonton sepakbola? Jika iya, jangan bilang anda tidak mengerti istilah offside. Istilah offside tak kalah populer dengan istilah bola lainnya, seperti penalti, hiding, hattrick, golden goal, tackle, injury time, free kick, corner kick dan lainnya. Bahkan, offside lebih sering terjadi dalam sebuah laga sepakbola.

Menurut definisinya, offside merupakan jenis larangan bagi pemain bola menerima umpan saat berada di posisi paling depan barisan lawan. Seorang pemain kadang diuntungkan jika pandai-pandai melakukan trik Offside, namun kerap pula pemain membawa kesal saat langkahnya dinyatakan offside oleh hakim garis lapangan.

Tapi, saya tidak mengajak anda bicara sepakbola disini. Melainkan, bicara soal politik. Lho? Ya. Pelanggaran Offside ternyata suka dilakukan politikus-politikus kita. Disini saya ambil contoh soal Pilgubri 2008. Pada masa pencalonan, sebelum masa kampanye, seorang calon Gubri H Rusli Zainal cukup berani masuk dalam jebakan offside. Saat itu, kebetulan Beliau yang masih menjabat sebagai Gubri (incumbent) menghadiri pembukaan MTQ Ke-27 di Kabupaten Siak Sri Inderapura 5 April 2008. Ternyata, disana ia membagi-bagikan berbagai macam souvenir berupa tas, Kalender, jam tangan, jilbab, kepada peserta dan tamu undangan.


Souvenir-souvenir itu lengkap dengan foto sang Gubernur. Ia lakukan itu memang bukan sendiri, namun terkoordinasi melalui bawahan2nya. Beberapa hari setelah acara itu, media massa ternyata gerah juga. Ulah sang Incumbent menjadi headline di beberapa koran harian dan mingguan. Namun, berita cuma berita. Habis dibaca, hilanglah sudah. Tak ada tanda-tanda dari Panwas dan KPU merespon berita pelanggaran Offside tersebut. Padahal, hal itu jelas-jelas menyalahi aturan main Pilkada yang melarang setiap calon berkampanye di tengah masyarakat sebelum waktu yang ditentukan.

Menariknya lagi, prilaku spekulatif bermain offside ini ternyata sudah dirancang Rusli Cs jauh-jauh hari sebelum klimaksnya di pembukaan MTQ tadi. Sebulan sebelumnya, jam tangan bergambar Rusli sudah beredar di kelurahan Bukit Raya Kecamatan Tenayan Raya Pekanbaru. Ceritanya, paman saya yang memiliki kedai aksesoris dan termasuk didalamnya melayani jasa pemotongan tali jam, didatangi seorang warga yang meminta tali jam tangannya di potong sebagian. Jam tangan bergambar Rusli Zainal itu belakangan diketahui baru saja ia peroleh dua hari sebelumnya, dari seorang yang ia tidak kenal.

Sayangnya, tak ada hakim garis yang berani mengangkat bendera kuning bagi pemain bernomor punggung BM 1 Riau itu. Karena memang peluit dimulainya pertandingan Pilgubri belum ditiup sang wasit ketika itu. Akhirnya, yang ada hanya sebentuk kekesalan di kubu lawan.
Memang, ada dua konsekuensi yang berpeluang didapat Rusli dengan melakukan tindakan itu. Pertama, dikalangan masyarakat awam ia mungkin mendapat simpati karena masyarakat akan merasa berhutang budi, karena telah diberi jam tangan, kalender, jilbab dan souvenir tadi.
Kedua, dikalangan yang melek politik, perbuatan itu jelas akan dinilai sebagai kecurangan berpolitik. Jika masyarakat sudah menilai seperti itu, potensi kehilangan suara Rusli semakin besar. Yang diuntungkan adalah lawan-lawannya.

Prilaku curi start seperti ini menunjukkan belum adanya kedewasaan berpolitik ditingkat elit. Perkara menang kalah merupakan hal yang biasa dalam sebuah pertarungan. Seorang petarung sejati, pantang baginya berlaku curang. Perlakuan curang hanyalah dilakukan oleh petarung-petarung yang tak yakin kemenangan bakal diraihnya. Jadi, berhentilah berspekulasi di garis offside !
Share:

Saturday, April 12, 2008

Menata Gejolak Otonomi Daerah, Membangkitkan Nasionalisme Kebangsaan

Semakin tinggi pohon, semakin besar pula terpaan angin. Pepatah lama ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Pepatah tersebut merupakan sebuah ungkapan bahwa semakin besar atau semakin tinggi posisi seseorang, semakin besar pula ujian dan tantangan yang dihadapinya. Termasuk terhadap sebuah Negara/bangsa. Semakin maju dan besar sebuah Negara/bangsa, akan semakin besar pula potensi masalah yang bakal timbul di Negara/bangsa tersebut, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Ini sudah menjadi hukum alam.

Bangsa Indonesia terbilang sebagai bangsa yang besar, baik besar atas keragaman suku-suku dan budayanya, maupun besar atas potensi kekayaan alam yang ada. Ditambah lagi, bangsa yang telah mengecap kemerdekaan selama hampir 63 tahun ini, memiliki ideology dan landasan bernegara yang kokoh, sehingga setiap terpaan yang datang mampu diatasi bangsa ini. Kendati demikian, kembali kepada hukum alam. Besarnya bangsa ini, tak akan lepas dari masalah-masalah kebangsaan. Disinilah ujian berat bagi bangsa yang besar. Jika mampu mengatasi permasalahan dengan baik, niscaya bangsa yang besar akan bertambah kuat.


Sebaliknya, jika permasalahan tak diatasi dengan baik, bisa-bisa menjadi ancaman yang dapat menimbulkan lemahnya keutuhan dan kekuatan bangsa.Di tengah menggelindingnya persoalan ekonomi yang tak pernah henti, bangsa juga harus menghadapi adanya ancaman krisis berkebangsaan yang terus bergulir. Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah timbulnya ego-ego kedaerahan yang bermuara kepada keinginan untuk memisahkan diri dari sebuah kesatuan. Ego kedaerahan muncul seiring maraknya pemekaran wilayah di Indonesia.

Walaupun isu utama yang diusung masing-masing daerah memekarkan diri adalah desentralisasi, namun ego daerah masih saja kerap mewarnai setiap perjuangan yang dilakukan untuk menggolkan usulan tersebut. Pemekaran wilayah tak lagi sebatas wacana sejak dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah di akhir dasawarsa 1990-an. Tujuan semula UU ini diantaranya untuk memicu percepatan pembangunan di daerah, dengan memperbesar peluang masyarakat untuk dapat berperan dalam pembangunan di daerah masing-masing. Dalam konteks baku, desentralisasi dan otonomi daerah diagendakan bukan hanya dalam rangka upaya mempertahankan keutuhan NKRI semata di dalam kepusparagamannya. Dan juga bukan sekadar penyerahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah. Tetapi lebih jauh dari itu, menyangkut agenda penyertaan masyarakat di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri.

Sejak diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 hingga berlakunya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah dibentuk 7 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota sebagai daerah pemekaran. Propinsi Riau Ditengah Boomingnya Otonomi Daerah. Seiring dengan berhembusnya angin otonomi daerah telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak terkecuali di Provinsi Riau sendiri.

Klimaks dari otonomi daerah di daerah ini terjadi pada 4 Oktober 1999 dimana provinsi Riau yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kotamadya, menjadi 16 kabupaten/kota. Beberapa kabupaten baru hasil pemekaran itu antara lain kabupaten Rokan Hilir (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Siak (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kota Dumai (pemekaran dari Kabupaten Bengkalis), Kabupaten Kuantan Singingi (pemekaran dari Kabupaten Indragiri Hulu), Kabupaten Pelalawan (pemekaran dari Kabupaten Kampar), Kabupaten Rokan Hulu (pemekaran dari Kabupaten Kampar)

Kemudian, pada 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi Provinsi ke 32 di Indonesia. Itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang hanya menjadi 11 Kabupaten/Kota. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah; (1) Kuantang Singingi, (2) Inderagiri Hulu, (3) Inderagiri Hilir, (4) Pelalawan, (5) Siak, (6) Kampar, (7) Rokan Hulu, (8) Bengkalis, (9) Rokan Hilir, dan Kota (10) Pekanbaru, (11) Dumai.

Sebelumnya hampir bersamaan dengan usulan pemekaran Provinsi Riau menjadi Riau dan Riau Kepulauan, muncul pula wacana pembentukan Provinsi Riau Pesisir yang wilayahnya direncanakan meliputi kabupaten-kabupaten di sepanjang pantai Riau Daratan, seperti Dumai, Rokan Hilir, Pelalawan, Siak, dan Bengkalis. Sebenarnya, sebelum terbagi menjadi dua propinsi (propinsi Riau dan propinsi Kepri), Propinsi Riau telah banyak mengalami jatuh bangun dalam upaya memperjuangkan otonomisasi daerah. Berbagai bentuk perjuangan telah dilakukan baik berskala lokal maupun nasional. Salah satunya melalui Kongres Rakyat Riau (KRR) yang menghasilkan kesepakatan membentuk Negara “Riau Merdeka”. KRR yang telah dua episode dilakukan merupakan upaya pengakuan bahwa masyarakat Riau memiliki hak untuk menentukan masa depannya.

Namun sayangnya, lagi-lagi hasil dari KRR ini, yaitu beberapa rekomendasi menyangkut masalah Monopoli, Masyarakat, Sumber daya Alam, Sumberdaya Manusia, Sosial ekonomi, dan Budaya, tak dapat direalisasi dengan mulus dikemudian hari. Wacana pemekaran wilayah kabupaten di Provinsi Riau kembali menyeruak ke permukaan pada awal 2008. Riak-riak untuk 'pisah ranjang' dengan kabupaten induk yang dulunya kecil itu kini kian bertambah besar. Aksi unjuk rasa di sejumlah kantor pemerintah dan legislatif daerah terus bermunculan. Masyarakat yang menuntut pemekaran daerah adalah warga di Kecamatan Meranti dan Mandau, yang ingin berpisah dari Kabupaten Bengkalis, Rokan Darussalam ingin 'bercerai' dari Kabupaten Rokan Hulu, dan Indragiri Hilir Selatan hendak melepaskan diri dari Kabupaten Indragiri Hilir. Begitu juga dengan Tapung dan Kampar Kiri yang ingin berpisah dari Kabupaten Kampar.

Kesenjangan pembangunan infrastruktur antara ibu kota kabupaten dan kecamatan menjadi isu sentral pemicu ketidakpuasan mereka bergabung dengan kabupaten induk.

Dampak-dampak Pemekaran wilayah
Meskipun umumnya pemekaran wilayah berangkat dari aspirasi yang baik, terutama untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan publik, namun dari berbagai evaluasi yang dilakukan, terlihat bahwa sebagian besar dari daerah-daerah pemekaran itu belum mampu mewujudkan keinginan itu. Dalam realisasinya, yang tampak adalah munculnya raja-raja kecil di daerah-daerah, oligarki lokal yang memanfaatkan kekuasaan dengan tujuan mengeksploitasi rakyat lokal baik secara sosial dan ekonomi. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara nyata nampak mulai tidak efektif dan tidak efisien. In-efisiensi penggunaan sumberdaya cenderung tidak terkendali. Diperparah lagi dengan dominasi legislatif atas eksekutif menambah makin carut-marutnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lepasnya Kepulauan Riau misalnya, memiliki implikasi yang multi aspek hal tersebut dapat dilihat antara lain dengan hilangnya wilayah perairan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) seluas 379.000 Km2, berkurangnya luas wilayah laut teritorial dari 95.561,61 Km2 menjadi 83.966,20 Km2 kurang lebih 11,20% serta berkurangnya sumber daya hayati, sumber daya alam baik itu minyak dan gas serta hilangnya sumber daya buatan lainnya seperti “Growth Triangle” (SIJORI, IMS-GT, dan IMT-GT)

Selain itu, secara psikologis, pemekaran wilayah cenderung menimbulkan friksi-friksi antara daerah lama dan daerah yang akan dimekarkan. Bahkan, tak jarang yang memanfaatkan kondisi tersebut guna kepentingan politis sesaat.

Wacana ingin lepasnya kabupaten Meranti dan Mandau dari kabupaten Bengkalis misalnya, menimbulkan hubungan yang rawan antara masyarakat di kedua wilayah calon pemekaran itu dengan pemerintah kabupaten induk, Bengkalis. Pasalnya, Pemkab Bengkalis menolak melepas Meranti dan Mandau yang merupakan daerah kaya sumber daya alam dan menjadi penopang utama pendapatan daerah tersebut. Menyikapi itu, sejumlah tokoh yang mengaku wakil masyarakat pro pemekaran tidak kehilangan akal. Diam-diam, perwakilan mereka (Meranti dan Mandau) melewati 'jalan tol' menuju DPR Senayan dengan melangkahi Pemkab Bengkalis dan DPRD.

Angin surga dari Senayan pun berhembus. Keluarnya Surat Presiden RI (R 01/Pres/2007) tertanggal 2 Januari 2007 yang ditujukan kepada Ketua DPR tentang 16 Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR tentang Pembentukan Kabupaten/Kota yang Baru di antaranya pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti dan Mandau menjadi surat sakti bagi masyarakat di dua daerah tersebut. Hubungan tak akur pun semakin menjadi diantara Pemkab Bengkalis dan kedua daerah pro pemekaran.

Hal serupa juga terjadi di Rokan Darussalam untuk memekarkan diri dari Kabupaten Rokan Hulu. Tidak ada aksi turun ke jalan, namun RUU pembentukan Kabupaten Rokan Darussalam disetujui DPR pada Januari 2008 lalu. Usulan RUU pembentukan Rokan Darussalam langsung mengiring ribuan warga Kabupaten Rokan Hulu turun ke jalan-jalan meneriakkan antipemekaran. Selain turun ke jalan, ribuan warga mengepung DPRD Rokan Hulu dan menuntut Ketua DPRD Rokan Hulu Teddy Mirza turun dari jabatannya karena diduga secara sepihak melayangkan surat rekomendasi kepada DPR RI tentang pembentukan Kabupaten Rokan Darussalam.

Tidak tanggung-tanggung, Bupati Kabupaten Rokan Hulu Achmad juga menolak wacana pemekaran dengan memerkarakan panitia pembentukan Rokan Darussalam ke Polda Riau karena diduga memanipulasi rekomendasi. Akhirnya, sama dengan hubungan Meranti-Mandau dan Pemkab Bengkalis tadi, hubungan yang tak harmonis pun mewarnai antara pemkab dan masyarakat pro pemekaran Rokan Darussalam.

Meranti, Mandau, dan Rokan Darussalam hanya dua contoh kecil kasus-kasus pemekaran wilayah di Riau yang ber-ekses pada potensi konflik. Selain konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat, konflik horizontal antara masyarakat pro dan kontra pemekaran pun bisa berpeluang terjadi, dan menimbulkan pertikaian massal. Jika itu terjadi, bukan mustahil letupan-letupan kecil itu akan menjadi letupan-letupan besar yang akan mengancam kedaulatan wilayah NKRI.

Menata Otonomi Daerah, Membangkitkan Nasionalisme Kebangsaan Menyikapi angin syurga Otonomi Daerah yang ada saat ini, mewajibkan adanya konsep yang tegas dalam mengelola Otda. Ini penting agar semua pihak memahami esensi dari berbagai produk otda, baik pemekaran wilayah maupun penggabungan wilayah. Mengelola Otonomi daerah harus diawali dengan kesamaan persepsi dalam memandang Otda itu sendiri. Otda bukan membuka kran semangat pelampiasan mengurus diri sendiri atau pesta memerdekakan diri yang akhirnya malah menambah menyengsarakan penduduk dengan makin mahalnya biaya hidup, tersendatnya hubungan dengan daerah lain. Otda harus dipahami sebagai upaya teknis yang berpeluang untuk memetakan secara jelas potensi penduduk dan wilayah serta menyinambungkannya dalam sebuah negara.

Secara eksplisit didalam UU otonomi daerah tahun 2004, memang telah dengan jelas diamanatkan bahwa pada prinsipnya otonomi daerah adalah media atau jalan untuk menjawab tiga persoalan mendasar dalam tata pemerintahan dan pelayanan terhadap publik. Pertama, otonomi daerah haruslah merupakan jalan atau upaya untuk mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Kedua, melalui otonomi daerah juga harus tercipta akuntabilitas yang terjaga dengan baik. Ketiga, bagaimana otonomi daerah diformulasikan menjadi langkah untuk mengupayakan responsiveness, dimana publik berpartisipasi aktif dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.

Maka, terlepas dari berbagai kepentingan dibalik usulan pemekaran wilayah, pemekaran daerah tentu harus mengacu kepada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran yang bertujuan meningkatkan taraf hidup dan pembangunan daerah setempat harus didukung. Namun demikian. pemerintah juga harus memperketat pemekaran karena banyak daerah yang dimekarkan, tapi gagal mempercepat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Selain memperketat aturan main diatas, pemerintah juga perlu mengevaluasi pemekaran wilayah yang sudah berjalan. Hal ini penting untuk melihat pemekaran yang bisa dikembangkan dan pemekaran yang harus didegradasi.

Selanjutnya, kriteria pemekaran mesti dirumuskan kembali secara detail guna menghindari pemekaran wilayah yang tidak selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pertimbangan menyeluruh melalui rangkaian kajian/penelitian secara sungguh-sungguh untuk melepaskan sebuah wilayah sebagai wilayah baru (hasil penggabungan, pemekaran, atau penghapusan) adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, dengan pertimbangan utama lebih terjaminnya kemaslahatan penduduk di masa depan.

Membangkitkan dan memupuk nasionalisme kebangsaan juga merupakan alternativ untuk menghindari diskursus tentang pemekaran wilayah. Sebagai sebuah isu yang bergulir di masyarakat, tentunya isu pemekaran sering mendatangkan berbagai pandangan di berbagai kalangan dan level masyarakat. Isu ini pun menjadi bola panas. Perdebatan-perdebatan panjang kemudian digelar. Namun tetap tak bertepi. Hal inilah yang kemudian memunculkan problema pro dan kontra di masyarakat. Sebetulnya, perbedaan pendapat ini amatlah lumrah, terutama dikaitkan dengan proses perkembangan demokrasi di tanah air. Akan tetapi perbedaan pendapat ini haruslah ditata, diformulasikan, sehingga tidak menimbulkan friksi dan ego, serta berakhir dengan suatu kebahagiaan bersama.***

Tulisan ini Juara 1 pada lomba penulisan Isu Strategis di Riau, yang diselenggarakan Badan Informasi Komunikasi dan Kesatuan Bangsa Provinsi Riau, April 2008
Share:

Monday, April 7, 2008

"Musim KB"




Entah mengapa, jelang-jelang musim Pemilihan Kepala Daerah, musim ber-KB pun tiba. Bukan oleh masyarakat, tapi oleh kandidat yang bakal maju pada pemilihan. Loh, apa hubungannya yah? Mungkin saja, si calon ber-KB agar saat pemilihan nanti ia tidak kerepotan mengurusi urusan sang istri yang melahirkan. Mungkin bisa juga, karena dengan ber-KB, sang kandidat akan merasa aman jika nanti setelah terpilih, kekayaannya tak terlalu banyak keluar untuk biaya anak banyak.

Tapi, tunggu dulu! Yang saya maksudkan disini bukan KB Keluarga Berencana, melainkan istilah Kontak Batin. Ya! Kontak batin antara sang kandidat dengan masyarakat pemilih.Menjelang pemilihan, dapat dipastikan 'kontak batin' antara calon pemimpin dengan masyarakat yang akan dipimpinnya terbilang tinggi. Buktinya, aksi 'turun gunung' sebagai wujud KB pun mendadak ramai dilakukan sang kandidat.

Biasanya, yang paling sering ber-KB adalah calon incumbent. Karena, dengan memanfaatkan posisinya, ia bisa memasang berbagai 'kontrasepsi KB' yang bersifat semu disetiap lawatannya. Makanya tak heran, disetiap Tour nya ke daerah-daerah, selalu judulnya "Tujuan ini", "dalam rangka itu" "kunjungan kerja ini dan itu". Padahal, ada tujuan politis didalamnya. Apalagi kalau bukan bersosialisasi dan mencari simpati masyarakat.


Untunglah, pemerintah cepat menanggapi ini. Untuk mengurangi pemakaian "azas manfaat" oleh sang calon yang sedang menjabat, Selasa (1/4) pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undangan (RUU) revisi terbatas Undang-Undang (UU) Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Revisi terbatas ini didalamnya mewajibkan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin kembali mencalonkan diri (incumbent), mengundurkan diri dari jabatannya setelah dirinya mendaftar dan dinyatakan secara sah sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Lain lagi dengan Walikota Pekanbaru Herman Abdullah. Disaat sebagian warga Pekanbaru berdesak-desakan di tenda-tenda pengungsian korban banjir, ia malah berada di Jakarta selama lebih kurang dua minggu, mengikuti pendidikan Lemhanas di hotel mewah. Benarkah ia tidak merasakan kontak batin akan penderitaan yang sedang dirasakan masyarakatnya? Ah, tidak mungkin! Pasti ia merasakannya. Namun, patut dipertanyakan, kenapa baru setelah dua minggu warganya kesulitan menghadapi banjir, baru ia kembali ke Pekanbaru?
Share: